Oleh: Agustinah Amalia (Mahasiswi)
Di tengah kondisi negeri yang sedang tidak baik-baik saja ini, mencuat kabar yang tak sedap terkait salah satu ajaran dari agama Islam, yakni jilbab. Tepatnya yaitu terkait kontroversi seragam kerudung bagi siswi SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Isu tersebut telah menjadi isu besar di berbagai platform media sosial maupun berita nasional. Hingga mengalahkan berbagai isu besar yang terjadi di negeri ini.
Polemik seputar penggunaan kerudung bagi siswi non-muslim maupun muslim ternyata tidak hanya terjadi saat ini saja. Sebelumnya juga pernah terjadi, yaitu ketika Ahok sebagai Gubernur DKI sebelumnya menjabat. Dimana ia juga mempersoalkan isu serupa.
Isu terkait “Jilbab Padang” itu sendiri muncul ketika salah satu orangtua dari siswi (non-muslim) merasa keberatan saat putrinya “dipaksa” menggunakan jilbab di sekolahnya. Siswi tersebut bernama Jeni Cahyani Hia. Ia merupakan salah satu siswi non-Muslim di sekolah tersebut. Ia merasa keberatan akan aturan tersebut. Sedangkan siswi non-Muslim lainnya dengan sukarela berkerudung tanpa adanya unsur paksaan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, yaitu bapak Rusmadi, beliau menuturkan bahwasanya, “secara keseluruhan ada 46 siswi non-Muslim, termasuk Jeni. Semuanya (kecuali Jeni) mengenakan kerudung seperti teman-temannya yang Muslim,” saat pertemuan dengan wartawan. (Sabtu, 23 Januari 2021)
Lihat: https://news.detik.com/berita/d-5345540/terungkap-46-siswi-nonmuslim-di-smk-2-padang-pakai-hijab-kecuali-jeni-hia
Pihak sekolah beranggapan bahwasanya tidak ada paksaan yang diberikan kepada siswi non-Muslim untuk menggunakannya. Dan beliau mengatakan bahwasanya siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang memakai hijab atas keingan mereka sendiri. Beliau juga menekankan aturan berpakaian sudah ada sejak lama, jauh sebelum SMA-SMK dibawah pengawasan Dinas Pendidikan Provinsi.
Menanggapi hal tersebut, Fauzi Bahar (Mantan Walikota Padang 2004-2014) angkat bicara terkait kontroversi siswi SMKN 2 Padang yang keberatan memakai kerudung atau berpakaian Muslimah di sekolah. Beliau mengatakan bahwa aturan tersebut sebenarnya sudah dibuat sejak dirinya menjabat sebagai walikota Padang yakni di tahun 2005 lalu.
Lihat: https://ihram.co.id/berita/qne9c6385/benarkah-ada-pemaksaan-pemakaian-jilbab-siswi-smk-di-padang
Kepala sekolah SMKN 2 Padang menyayangkan sikap dari orangtua siswi tersebut yang buru-buru membawa persolan ini ke media sosial hingga menjadi sebuah kontroversi ditengah-tengah masyarakat saat ini. Yang mana seharusnya persoalan seperti ini bisa dicari jalan keluarnya bersama.
Di sisi lain pada topik yang sama, namun dengan objek yang berbeda. Sebenarnya hal serupa tidak hanya terjadi di SMKN 2 Padang, melainkan di beberapa sekolah yang ada di Indonesia pun juga mengalami hal serupa. Sebagaimana yang terjadi di Bali beberapa waktu belakangan. Yaitu pada tahun 2014. Dimana Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) diminta menginvestigasi pelarangan siswi berjilbab di Bali. Khususnya di sekolah negeri.
Lihat: https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/02/26/n1krlz-40-sekolah-larang-berjilbab
Inkonsistensi Pembelaan
Kehebohan semua pihak yang bereaksi sampai menuntut pencabutan aturan seragam kerudung menegaskan bahkan dalamm sistem sekuler hari ini, ajaran Islam dianggap intoleran, sumber lahirnya diskriminasi dan pelanggaran HAM. Sebaliknya saat siswa Muslimah di banyak sekolah secara resmi dilarang berpakaian Muslimah, tidak banyak yang membela. Ini juga menegaskan terjadinya tirani minoritas
Disini terlihat bahwasanya ada Inkonsistensi pembelaan. Yang mana ketika para siswi non-Muslim memakai jilbab dengan sukarela tanpa adanya paksaan justru dipermasalahkan besar-besaran. Dan ada pihak-pihak yang gerah akan hal itu. Mengapa hal ini terjadi? Sedangkan sebaliknya ketika siswi muslimah di banyak sekolah secara resmi dilarang berpakaian muslimah, mengapa tidak banyak yang membela? Inilah yang harusnya menjadi fokus kita ketika menanggapi suatu permasalahan yang muncul. Bukan justru berbondong-bondong menyebarkan berita tersebut dengan menyudutkan Islam.
Terkait hal ini, Lantas apakah kontroversi yang terjadi saat ini merupakan upaya politisasi? Jika kita melihat fakta-fakta tersebut “Jilbab Padang” hanyalah politisasi. Yang tidak lain tujuannya hanyalah untuk memojokkan Umat Islam. Yang mana isu yang bisa diselesaikan secara bersama justru dibesar-besarkan melalui berbagai media sosial maupun media nasional. Tak terkecuali para pejabat Negara. Sebagaimana pernyataan dari Mendikbud Nadiem Makarim yang menuding kasus “Jilbab Padang” sebagai bentuk intoleransi.
Bukan menyejukkan suasana justru sebaliknya semakin memperkeruh suasana. Padahal kasus di dunia Pendidikan itu sendiri masih banyak yang perlu diurusi. Belum lagi permasalahan pembelajaran secara daring selama Covid-19 ini yang justru menimbulkan berbagai permasalahan yang baru. Haruslah ini yang menjadi fokus utama Mendikbud.
Lantas bagaimana aturan Islam tentang Pakaian Muslimah?
Dalam Islam, mewajibkan kaum perempuan yang sudah Baligh atau deawasa menggunakan pakaian syar’i di kehidupan umum, yakni jilbab dan kerudung, melarang ber-tabarruj, dan memerintahkan laki-laki dan perempuan menjaga pandangan. Aturan tentang menutup aurat dengan sempurna kepada para muslimah tersebut sudah tercantum di dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 31 (perintah mengenakan kerudung) dan surah Al Ahzab ayat 59 (perintah mengenakan jilbab), serta surah Al Ahzab ayat 33 (tidak tabarruj atau berhias secara berlebihan dalam berpakaian atau ber-make up).
Jilbab itu sendiri merupakan pakaian wajib yang harus dipakai dalam kehidupan umum bagi seorang Muslimah, seperti di jalan, di pasar, di kampus, dan tempat-tempat umum lainnya. Ketika ia berada di kehidupan khusus maka seorang Muslimah tidak diwajibkan untuk menggunakan jilbab, seperti di dalam rumah, dalam kamar dan dihadapan mahramnya.
Bagaimana dengan aturan berpakaian Wanita Non-Muslim?
Di dalam negeri Khilafah sendiri, warga Negara Non-Muslim diberikan kebebasan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Termasuk didalamnya terkait berpakaian. Mereka diperlakukan sesuai dengan agama mereka dalam batas diperbolehkan oleh syariah itu sendiri.
Namun dalam hal berpakaian, didalam Negara Khilafah menerapkan dua batasan. Yaitu pertama: batasan dalam hal menurut agama mereka. Yaitu pakaian yang sesuai dengan agama mereka adalah pakaian rahib pendeta dan pakaian rahib perempuan. Kedua: batasan yang ditetapkan oleh syariah itu sendiri, yakni berkaitan dengan hukum-hukum syara yang berlaku di kehidupan umum, baik Muslim maupun Non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Fakta sejarah-pun menyatakan bahwasanya pada masa Ke-Khilafahan para wanita baik Muslimah maupun non-Muslimah mengenkan jilbab. Yang bisa menunjukkan bahwasanya pakaian perempuan Muslim maupun Non-Muslim dalam kehidupan umum diatur sesuai dengan syariah. Wallahu a’lam bi ash-shawwab…