Konflik Seragam Berujung SKB 3 Menteri, Syariah-Fobia Melanda Negeri





Oleh Maya Dhita



“Kalau pendidikan tak boleh melarang dan tak boleh mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, ini tak lagi mencerminkan pendidikan. Memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB 3 menteri itu ditinjau kembali atau dicabut,” cuitan Cholil di akun Twitternya @cholilnafis, Jumat (05/02/2021), menegaskan ketidaksetujuan beliau akan kebijakan ini.

Berawal dari persoalan pemakaian jilbab bagi siswi non muslim di SMKN 2 Padang. Pemberitaan yang semakin meluas hingga membuat menteri pendidikan Nadiem Makarim ikut bicara. Dan akhirnya berujung diterbitkannya SKB 3 Menteri.

Dalam SKB 3 menteri ini dijelaskan bahwa peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih seragam dan atribut tanpa kekhususan agama dan seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

Di tengah kacaunya sistem pendidikan di masa pandemi, tak bijak rasanya jika menteri pendidikan kita membahas hal-hal yang tidak penting untuk segera di atasi. Masih banyak pekerjaan rumah yang memerlukan perhatian khusus. Misal, kasus kriminalitas yang disebabkan kesulitan mencari uang untuk membeli kuota internet anaknya yang sekolah daring. Atau meningkatnya penderita gangguan psikologis pada anak akibat penggunaan gagdet berlebihan di masa pembelajaran jarak jauh.

Padahal permasalahan seragam dan atribut sekolah di SMK 2 Padang sudah terselesaikan dengan damai. Walau sebenarnya tidak ada paksaan bagi pelajar non muslim disana untuk berjilbab, hanya berupa anjuran. Tetapi masalah ini cenderung di blow-up hingga menjadi topik Nasional. Ujungnya dikaitkan dengan masalah persatuan, toleransi, dan moderasi beragama.

Hal ini menjadi polemik, dikala negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak berpihak kepada syari'at Islam. Menutup aurat dan berjilbab merupakan kewajiban bagi seorang muslimah. Sekolah merupakan tempat untuk belajar menerapkan aturan. Anak-anak harus ditempa, dipaksa dulu untuk patuh pada aturan yang nantinya membentuk mereka menjadi pribadi yang taat pada syariatnya. Bukan malah memberi kebebasan yang membuat anak-anak jauh dari aturan Islam.

Seharusnya aturan yang dibuat itu ditujukan bagi siswa, pendidik, atau tenaga kependidikan minoritas. Yaitu tidak wajib memakai seragam dan atribut kekhususan agama mayoritas di lingkungan sekolahnya. Jadi tidak diberlakukan umum. Sebagai contoh SMAN 2 Bali dan hampir sebagian sekolah di Bali melarang penggunaan jilbab saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Malah disertai ancaman jika tidak patuh akan dikeluarkan dari sekolah. Hal ini tentu menjadi konflik bagi siswa muslim dimana dalam syariat Islam wajib menutup aurat dan berjilbab.

Secara parsial, dengan memberlakukan wajib seragam yang menutup aurat bagi siswa muslim, akan memberikan dampak positif. Menekan angka seks bebas yang berujung pada berkurangnya kehamilan di kalangan pelajar. Fakta yang cukup miris. Semua akibat paham kebebasan yang menyerang generasi kita dari berbagai arah dan kurangnya landasan keimanan di kalangan pelajar.

Negeri ini sedang terjangkit virus Syariah-fobia. Ketakutan akan diterapkan syariat Islam begitu besar. Hal-hal yang berhubungan dengan syariat Islam akan dibenturkan dengan masalah moderasi beragama, persatuan dan kesatuan. Ini adalah ciri-ciri paham sekuler. Agama merupakan kepentingan individu saja. Masalah pribadi manusia dengan Tuhannya.

Syariat Islam mengatur pluralitas berbangsa. Dalam penerapannya di negara Islam (khilafah), syariat Islam mampu menjaga warga negara khilafah yang terdiri atas muslim dan ahlul dzimmi. Dzimmi adalah sebutan bagi warna non muslim yang mau tunduk dalam aturan negara Khilafah. Mereka memiliki hak yang sama dengan warna muslim. Berhak mendapat perlindungan, dihormati keyakinannya dan dijaga hartanya.

Rasulullah bersabda: "Barang siapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun" (HR Ahmad).

Dzimmi dalam negara khilafah dibolehkan untuk memeluk agamanya dan beribadah sesuai keyakinannya. Begitu pula dalam hal berpakaian. Dengan mematuhi koridor peraturan umum. Jika berada di ranah publik maka harus menutup aurat. Misalnya di lingkungan sekolah.

Islam merupakan Rahmat bagi seluruh alam. Dengan diterapkannya syariat Islam maka pluralitas bangsa tidak akan menjadi masalah. Karena semua telah diatur dengan sebaik-baik aturan. Yaitu aturan dari Allah Swt.

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak