Oleh: Nani Salna Rosa
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Belum usai kasus korupsi bansos oleh mantan Mensos Juliari Batubara. Kini kembali terjadi kasus serupa, seperti dikutip dari laman berita berikut.
Diduga korupsi dana desa, dua mantan Kepala Desa (Kades) di Kabupaten Bandung ditahan di kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kab. Bandung. Kedua mantan Kades tersebut ditahan oleh Jaksa selama 20 hari, yaitu sejak tanggal 19 Januari 2021. Hal ini disampaikan Kepala Sub Seksi Penuntutan seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung Rudi Dwi Prastyono.
“Masing-masing dijerat pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 junto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jadi pasal 2 ayat 1 dan pasal 3. Pasal yang didakwakan nantinya, yang disangkakan terhadap dua tersangka tersebut, pasalnya sama,” tutur Rudi.
Rudi menambahkan, pihaknya telah menerima limpahan tahap dua perkara dari Polresta Bandung dan membentuk dua Tim Penuntut Umum. Sehingga, perkara siap dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Bandung.
“Kita sudah limpahkan perkara tersebut ke pengadilan tipikor. Untuk disidang, tinggal menunggu penetapan dari majelis hakim,’’ ucapnya.
“Jadi nanti setelah ada penetapan, baru kami melaksanakan penetapan tersebut untuk sidang,” tambahnya kemudian.
Sementara itu, perkara pertama terkait penyalahgunaan alokasi dana desa dan alokasi dana perimbangan desa (ADPD) terjadi di Desa Sukarame Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung.
“Pelaku yang pertama inisialnya S, sebagai kepala desa pada tahun 2014-2019,” ujar Rudi saat dihubungi via telepon, Jumat (22/1)(dara.co.id, 23/01/2021)
Tidak heran jika di sistem kapitalisme ini para penganutnya memang dituntut untuk mementingkan kepentingan pribadi mereka. Hingga rela melakukan apapun, termasuk korupsi.
Kenyataannya, korupsi adalah salah satu penyebab terjadinya Masyarakat Miskin Baru (MisBar). Di sisi lain, pemerintah baru saja meresmikan Gedung Sistem Layanan Rujukan Terpadu (SLRT) untuk menangani masalah kemiskinan. Hal ini dirasa percuma jika pejabat pemerintahan masih banyak yang korupsi. Selain itu, pada sistem kapitalis hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor tidak membuat efek jera. Sehingga kasus korupsi terus saja terjadi.
Dalam pandangan syariat Islam, korupsi termasuk salah satu dosa besar, yaitu ghulul (penghianatan terhadap amanat rakyat). Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Semua tindakan tersebut tergolong dosa besar yang memiliki sanksi serius dalam Islam.
Sebagian ulama mengqiyaskan tindakan korupsi dengan mencuri. Yakni, pelakunya sama-sama dipotong tangan. sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Quran.
Allah Swt. berfirman:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS. Al Maidah: 38)
Menurut Imam Malik, pelaku pencurian wajib mengembalikan harta yang telah dicurinya jika dia tergolong orang kaya. Namun, jika miskin, dia dimaafkan untuk tidak mengembalikan hartanya. Pada intinya, hukum potong tangan sebagai hukuman dari perbuatannya. Bukan sebagai tebusan atas apa yang telah dia ambil.
Namun hukuman mati bagi koruptor dirasa relevan disebabkan korupsi merupakan pelanggaran terhadap tujuan pokok hukum Islam, yaitu perlindungan terhadap harta.
Jika dianalogikan, korupsi mirip dengan jarimah sariqah yang mengambil harta milik orang lain dan merugikan pemilik harta. Sedangkan, korupsi mencuri harta milik negara yang mengakibatkan kerugian negara dan berdampak yang sangat luar biasa terhadap tatanan kehidupan masyarakat.
Dari sini terlihat jelas bahwa syariat Islam bukan hanya berbicara tentang masalah agama saja seperti perjudian, pelacuran, pornografi, dan sebagainya. Syariat Islam sesungguhnya berbicara tentang semua aspek kehidupan manusia dan masyarakat, termasuk tentang korupsi.
Sungguh ironis bila di satu sisi kita sadar tengah mengidap banyak sekali penyakit, termasuk penyakit kronis bernama korupsi. Tapi di sisi lain kita menolak kehadiran obat mujarab, yakni syariat Islam yang terbukti mampu mengatasi segala problematika kehidupan.
Wallaahua'lam bishshawwab.
Tags
Opini