Oleh : Rayani Umma Aqila
Baru - baru ini beredar dan menjadi viral di tanah air tentang penolakan dari non Muslim untuk tidak mengenakan jilbab di tempatnya bersekolah yaitu SMKN 2 Padang, Sumatra Barat. Video siaran langsung pada akun media sosial Elianu Hua yang berisi percakapan antara wali murid dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang mendadak viral.
Pihak sekolah memanggil Elianu ke sekolah karena Jeni Cahyani Hia, anaknya, menolak mengenakan jilbab karena nonmuslim. Jeni yang duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran tersebut merasa tidak memiliki kewajiban mengenakan jilbab karena menganut agama yang berbeda. Dalam video tersebut, Eliana mengatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab . ( Antara news, 26 /1/ 2021).
Namun demikian, Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Habibul Fuadi, menyatakan bahwa sekolah di Kota Padang memang ada aturan berpakaian muslim. Namun, aturan itu dikhususkan bagi murid yang beragama Islam. Sedangkan, bagi siswa nonmuslim mengenakan seragam yang sopan dan santun (Kompas.com, 25/1/2021).
Seketika persoalan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak Mendikbud Nadiem Makarim menilai bahwa apa yang terjadi pada kasus ini adalah bentuk intoleransi. Jelas permasalahan yang muncul pada isu Padang ini mengarah pada diskriminasi ajaran Islam dan kaum muslim. Kasus jilbab SMKN Padang yang lahir dari keputusan Walikota setempat ditarik menjadi desakan untuk membatalkan berbagai peraturan yang bersandar pada aturan agama (Perda Syariat).
Karena dianggap banyaknya problem diklaim lahir dari pemberlakuan Perda Syariat. Di Indonesia yang mayoritas umat Islam, misalnya, umat Islam sering dipinggirkan. Tak jarang dipojokkan. Bahkan tak dikerdilkan. Terus-menerus ditekan, diintimidasi bahkan dipersekusi. Seperti hari ini. Memakai Jilbab telah lama dipersoalkan. Adzan dituding membuat kebisingan .
Bendera Tauhid pemersatu umat Islam dituding simbol kekerasan. Yang sering menyuarakan syariah Islam dituduh menyebarkan prilaku intoleran. Yang mendakwahkan Khilafah sebagai ajaran Islam terus dipermasalahkan. Dianggap sebagai pemecah - belah persatuan. Perda syariah walau dari hasil sebuah proses demokrasi yang sah dituduh mengancam kebersamaan.
Inilah bukti bahwa sistem demokrasi tidak memberi ruang bagi pemberlakuan syariat sebagai aturan publik. Islam dikerdilkan menjadi ajaran ritual sebagimana agama lain. Pasalnya, sistem yang dianut negeri ini adalah sistem kapitalisme dengan asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Ajaran Islam berupa jilbab dan kerudung dipandang miring dan buruk dalam sistem kapitalisme. Di negeri yang mayoritas muslim pun, jilbab dan kerudung dipermasalahkan.
Berbeda dengani Islam, dimana syariat mengatur bahwasanya laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan beragama Islam wajib menutup aurat. Aurat laki-laki yang wajib ditutup dari pusar sampai lutut. Sementara aurat perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Seorang muslimah di kehidupan publik, di kantor, kampus, sawah, pasar, mall, masjid dan lainnya harus menutup aurat secara sempurna dengan mengenakan jilbab (jubah) dan khimar (kerudung). Rasulullah Saw. bersabda:“Sungguh seorang anak perempuan, jika telah haid (balig), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud)
Kewajiban berjilbab terdapat dalam firman Allah SWT “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan para wanita Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…” (TQS Al-Ahzab: 59). Sementara bagi ahludz dzimmah (kafir dzimmi) menjadi warga negara khilafah dibiarkan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing.
Sejarah membuktikan bahwa sepanjang masa Khilafah Islamiyah, seluruh wanita, muslimah maupun nonmuslimah mengenakan jilbab di kehidupan umum. Sebagian kampung yang bercampur muslimah dan nonmuslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Hal ini bisa menunjukkan bahwa pakaian perempuan di masa kekhilafahan mengenakan jilbab dalam kehidupan umum diatur sesuai syariah Islam. Dengan demikian, kehormatan dan kemuliaan perempuan akan terjaga.
Sejarah toleransi dalam Islam nyaris seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Turunnya QS al-Kafirun pada masa-masa awal dakwah Rasulullah saw. di Makkah tegas mencerminkan ajaran toleransi ini. Toleransi adalah menyatakan ketegasan sikap dalam berpegang teguh pada keyakinan/akidah Islam. Tak ada campur-aduk agama Islam dengan agama lain. Saat yang sama, membiarkan pihak lain dengan keyakinan atau agama mereka. Dalam bahasa al-Quran: Lâ ikrâha fî ad-dîn. Tak ada paksaan bagi orang-orang non-Muslim untuk memasuki agama Islam.
Dalam sejarahnya, ajaran Islam yang demikian mampu menciptakan toleransi antarpemeluk agama secara hakiki. Tanpa kepuran-puraan. Tanpa intimidasi dan paksaan. Ini berlangsung tidak kurang dari 14 abad. Bahkan hingga hari ini. Meski umat Islam mayoritas, mereka tak pernah mempersoalkan keberadaan kaum minoritas non-Muslim.
Wallahu a’lam bish showab