Jangan Gadaikan Cinta Suci dengan Kemaksiatan


Oleh: Rindoe Arrayah

              Rasa cinta yang ada dalam diri setiap manusia merupakan suatu hal yang wajar adanya. Mengapa? Karena, itu merupakan karunia dari Allah SWT. Banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mewujudkan rasa cintanya. Semisal, tepat pada tanggal 14 Februari di setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi lainnya. Sebab, hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah Valentine’s Day, sebuah hari di mana orang-orang di barat sana menjadikannya sebagai fokus untuk mengungkapkan rasa kasih sayang.

Seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari Valentine pun mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja. Bertukar bingkisan valentine berupa coklat dengan beraneka ragam bentuk yang sengaja dibuat oleh produsen, semarak warna pink, serta ucapan rasa kasih sayang. Ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.

Jika dirunut ke belakang, sejarah Valentine’s Day ini berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.

The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang mati pada 14 Februari” (The World Encylopedia 1998).

Perayaan Valentine’s Day sudah mengalami pergeseran dari esensi perayaan dari awal kemunculannya. Jika di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa setelahnya hingga sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat kasih sayang.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, bahkan lebih dari itu di kalangan sesama remaja berlawanan jenis menjadi boleh dengan alasan semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang.

Mirisnya, tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putra-putri mereka saling melampiaskan semua itu dengan teman lawan jenis mereka. Hanya semata-mata, karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari spesial untuk mengungkapkan kasih sayang yang dianggap biasa adanya.
 
Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Bagi orang barat, zina merupakan salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan, zina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang. Parahnya lagi, para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina bisa dilakukan oleh siapa saja.

Valentine’s Day ini memberikan warna negatif bagi kehidupan para remaja yang sedang mengalami masa-masa pubertasnya. Munculnya akhlak baru yang sangat mengkhawatirkan imbas dari Valentine’s Day ini harus menjadi perhatian serius seluruh pihak khususnya orang tua karena akan menggerogoti moral remaja secara perlahan-lahan dan akhirnya menuju titik kehancuran.

Adapun sisi negatif dari Valentine’s Day adalah:

Pertama, munculnya akhlak tasyabuh yaitu akhlak meniru orang lain dengan tanpa mengetahui dan mempertimbangkan sebab dilakukannya Valentine’s Day. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatkan umatnya dengan sebuah hadits: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut,” [HR. Tirmidzi.]. Karena dengan mengikuti Valentine berarti kita sedang mengikuti tradisi yang ditradisikan oleh kaum non-muslim.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

Kedua, memunculkan sifat pendusta dan lupa diri. Selalu, di tanggal 14 Februari ini kalangan yang didominasi remaja menyibukkan diri untuk membeli sebuah hadiah dan membuatnya agar menjadi tampilan yang menarik. Ada yang membungkus dengan kertas kado, dibalutkan pita warna pink membubuhkan tulisan bernuansa puitis, dan lain sebagainya.

Realitasnya mereka sendiri sedang kekurangan dana namun tetap bersikukuh untuk memberikan yang terbaik kepada orang yang disebut kekasih itu. Kalau kita ingin berpikir lebih dewasa dan bersikap jujur, mengapa kita harus sangat berkorban untuk memberi hadiah itu kepada lawan jenis dengan label ”orang yang disayangi” tapi di sisi lain kita malah melupakan orang seharusnya lebih kita sayangi, yaitu orang tua kita. Dengan bangga dan senangnya mereka menghadiahkan sesuatu kepada targetnya namun bersamaan dengan itu mereka mengabaikan orang tuanya yang menjadi sumber penghasilan dia untuk membeli hadiah itu. Sungguh, sangat menyesakkan dada melihat kondisi ini.

Ketiga, Valentine’s Day merupakan ajang bisnis yang hanya memberi keuntungan kepada pihak kapitalis dan memposisikan umat Islam khususnya para remaja sebagai konsumen semata. Mereka memproduksi barang-barang untuk kepentingan perayaan, dan pembelinya adalah umat Islam. Begitu pula dengan penyedia tempat hiburan, mereka akan berlomba-berlomba menyediakan fasilitas hingga berbau acara perayaan akan terkesan lebih meriah yang pada kenyataannya mereka hanya mencari keuntungan finansial semata.

Keempat, desakralisasi seks. Diakui ataupun tidak dalam perayaan Valentine ’s Day telah membuka ruang terjadinya pergaulan yang hura-hura, pesta pora karena pada perayaan tersebut bukan hanya sekadar mengutarakan kasih sayang. Namun, akan dihiasi pesta yang pada akhirnya berakhir dengan free sex. Menjelang perayaan Valentine’s Day penjualan kondom mengalami peningkatan yang sangat pesat. Dan ini menjadi petaka besar bagi kehidupan para remaja.

Selain coklat dan bunga, dilaporkan kondom juga laris saat Valentine. Hal ini menjadi sorotan dan membuat khawatir sejumlah pihak. Untuk mengantisipasi hal tersebut, tim gabungan dari Pemkot, Polres Kediri Kota dan TNI melakukan sidak penjualan kondom di sejumlah minimarket di Jalan Patiunus dan Jalan Joyoboyo. Sejumlah paket coklat yang sudah dihias juga diperiksa agar tidak ada kondom yang mungkin sengaja diselipkan di dalamnya.

"Ini merupakan upaya Pemkot Kediri menjaga dan ikut serta memberikan pemahaman kepada penjual dan masyarakat agar ikut serta menyelamatkan generasi muda, menjadi generasi sehat. Dan kebiasaan masyarakat khususnya generasi muda menyalah artikan perayaan hari Valentine memadu kasih dengan cara negatif," ungkap Kasi Farmakes PKRT Dinas Kesehatan Kota Kediri Sri Mulyani Ningtyas, seperti dikutip dari detikcom  (14/2/2020).

Karenanya, bisa dimengerti jika  di negeri ini MUI dalam fatwanya Nomor 3 Tahun 2017 mengharamkan muslim ikut serta merayakan Valentine’s Day. Alasan yang dikemukakan MUI adalah bahwa perayaan itu bukan termasuk tradisi Islam; Perayaan Valentine’s Day menjurus pada pergaulan bebas, seperti hubungan badan di luar nikah; dan tradisi dari luar itu berpotensi menimbulkan keburukan.

Allah SWT berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’: 32)

Implementasi kasih sayang yang diperintahkan Islam tidak sama dengan wujud kasih sayang yang disebarkan para pecinta Valentine’s Day. Di antara keduanya memiliki perbedaan yang jauh sekali.

Pertama, menyebarkan kasih sayang landasannya bukan semata karena rasa suka dan cinta, namun didasari karena ketaatan pada perintah Allah SWT seperti yang dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud: 

“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), sayangilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit.” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-Thirmidzi no 1924)

Kasih sayang semata karena Allah  SWT tidak dibatasi waktu dan tempat. Muslim manapun akan senantiasa terdorong untuk melaksanakannya setiap saat demi untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang-Nya, Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukan hanya terbatas di momen Valentine’s Day.

Kedua, wujud kasih sayang ditampakkan harus sesuai dengan ketentuan syari’at. Di antara ketetapan tersebut adalah:

1). Ungkapan kasih sayang di antara perempuan dan laki-laki bukan mahram hanya ada dalam ikatan pernikahan yang terwujud dalam pergaulan suami istri. Ketaatan istri pada suaminya adalah bukti nyata kasih sayangnya.

Adapun tanggung jawab, perhatian, dan kepemimpinan seorang suami merupakan bentuk kasih sayang paling utama dalam rangka meraih keridaan Allah SWT. Sementara, kasih sayang diantara pasangan muda-mudi diluar ikatan resmi pernikahan yang ditampakkan dalam ritual Valentine’s Day sudah pasti dilakukan karena dorongan hawa nafsu, bukan untuk mendapatkan pahala-Nya.

2). Kasih sayang dari orang tua kepada anak-anaknya. Diwujudkan dalam pemeliharaan, pengasuhan, pendidikan, sampai mengantarkan mereka ke gerbang akil baligh. Semua itu, bukan perkara instan juga tidak mudah untuk melaksanakannya. Dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh juga diperlukan waktu yang panjang.

Kasih sayang orang tua tak berbatas masa dan usia. Akan ada setiap saat. Kasih sayang demikianlah yang akan melahirkan generasi shalih dan shalihah. Kelak akan berbuah pahala yang terus mengalir. Layaknya investasi tiada henti.

Sabda Rasulullah SAW:

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta doa anak yang shalih.” (HR Muslim no. 1631). Karenanya, sangat naif jika kasih sayang hanya ditampakkan setiap setahun sekali.

3). Kasih sayang anak kepada orang tuanya. Ditunjukkan dengan bakti dan ketaatan mereka kepada perintah keduanya selama bukan dalam kemaksiatan (QS Luqman: 14-15), serta lemah lembut dalam bergaul dengan keduanya (QS Al Isra: 23-24).

Berbuat baik kepada orang tua adalah salah satu kewajiban anak setelah perintah beriman kepada Allah SWT dan Rasul SAW. Seorang anak senantiasa dituntut melakukannya, bahkan manakala orang tuanya sudah tiada pun dia tetap wajib menunaikannya, walau hanya berupa untaian doa untuk mereka.

4). Kasih sayang di antara orang beriman. Orang beriman adalah saudara. Satu sama lain ibarat satu tubuh yang tak terpisahkan. Allah SWT memerintahkan kita untuk saling berkasih sayang (QS Al Fath: 29).

Namun, tentu saja wujudnya berbeda dengan kasih sayang di antara pasangan suami istri juga tidak sama dengan kasih sayang dari orang tua kepada anaknya. Kasih sayang di antara saudara seiman ditampakkan dalam pemenuhan hak dan kewajiban sesama muslim.

Sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi saw: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau SAW bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Allah (mengucapkan ‘alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR Muslim, no. 2162).

Dalam hadits ini pun tampak bahwa kasih sayang sesama muslim tidak terikat waktu dan keadaan. Wajib dilakukan dalam setiap kondisi, baik dalam keadaan senang, susah, sakit, bahkan ketika ajal sudah menjemput masih memiliki hak yang harus ditunaikan oleh saudaranya.

5). Kasih sayang sesama makhluk Allah SWT. Islam mengajarkan pada pemeluknya untuk memiliki kasih sayang kepada sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Di antara bentuk kasih sayang sesama ciptaa- Nya adalah: perintah saling mengenal (QS Al Hujurat: 13); menyeru kepada kebenaran Islam dengan cara yang baik (QS An Nahl: 125).

Dakwah kepada Islam merupakan wujud kasih sayang terindah yang wajib dilakukan. Dakwah merupakan wasilah sampainya hidayah. Dakwah Islam bisa menyelamatkan manusia dari kesengsaraan hidup di dunia dan membebaskannya dari azab pedih di akhirat kelak. Tetap membiarkan mereka dalam kesesatan justru bertentangan dengan hakikat kasih sayang.

Tidak hanya terhadap sesama manusia, kepada binatang dan hewan ternak pun Islam memerintahkan kita untuk memberikan kasih sayang, seperti hadis Rasulullah SAW berikut ini:

“Barang siapa yang berkasih sayang meskipun terhadap seekor sembelihan maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat.” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod)

Sungguh, Islam merupakan agama yang menganjurkan kita untuk saling berkasih sayang, saling menjaga, menyenangkan orang lain setiap saat, tidak terbatas dengan dimensi dan waktu. Sehingga, kita mampu mengamalkan keindahan kasih sayang ini tanpa mengotori pelaksanaannya dengan kebodohan kita. Kalaupun kita ingin memberi yang terbaik berilah kepada yang paling pantas menerimanya yaitu orangtua, sahabat kita yang selalu menyayangi kita dan kita tidak pernah berniat mengkhususkan untuk hari tertentu saja. Jadikan setiap hari menjadi hari “kasih sayang” dan berikan itu untuk semua orang. Dalam sebuah hadits Nabi SAW menyampaikan kepada kita “Belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”

Bagaimanapun juga, peran keluarga sangat penting sebagai benteng pertama bagi para generasi agar tidak mudah goyah tergoda dengan berbagai pesona dunia yang menyilaukan pandangan. Hanya saja, fakta yang didapati saat ini banyak dari para ibu sebagai madrasah utama bagi anak-anaknya justru harus turut bekerja di luar rumah demi membantu suami dalam mencari penghasilan untuk kebutuhan belanja bulanan. Kondisi yang tidak ideal inilah yang menjadikan keluarga sebagai baiti jannati sulit untuk diwujudkan. Mengapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan, sistem kehidupan yang diterapkan tidaklah merujuk kepada aturan Sang Khaliq. Tidak mengherankan jika memunculkan berbagai kerusakan, tidak terkecuali menimpa ranah keluarga.

Keberadaan ibu sebagai madrasah utama bagi keluarga bisa dikembalikan seperti sedia kala, jika sistem kehidupan kapitalis yang diterapkan saat ini diganti dengan syari’at Islam. Karena, kapitalisme telah nyata hingga kini justru semakin memperkeruh kondisi umat dengan berbagai kerusakan yang ditimbulkan. Hanya dengan sistem kehidupan yang berlandaskan syari’at Islamlah semua problema yang ada bisa teratasi dengan solusi yang mumpuni.

Wallahu a’lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak