Isu Jilbab, Intoleransi Hingga Islamophobia




Oleh : Azizah, S.PdI*


Salah satu kiat bisnis untuk menaikkan penjualan adalah packaging. Sebuah proses pengemasan untuk menarik minat konsumen, membuat produk tetap aman dan berkualitas. Pada bagian ini butuh sentuhan yang eye catching untuk tampilan luar produk. Karena pandangan pertama konsumen tertuju pada kemasan. Meski bisa jadi yang ditawarkan aslinya bukan produk baru. 

Ini adalah ilustrasi saya untuk sebuah kasus penolakan jilbab oleh siswa non muslim di SMKN 2 Padang, dimana isu ini secara blak-blakan dikaitkan dengan masalah intoleransi dan keberagaman. Padahal siapa pun pasti tahu persoalan seperti ini sejatinya sudah kehilangan momentum untuk diputar ulang. 

Sebagaimana pemberitaan yang telah viral, Jeni Cahyani Hia, siswi yang menolak berjilbab itu duduk di kelas IX jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran.  Karena menganut agama yang berbeda ia merasa tidak berkewajiban mengenakan jilbab.Tetapi dalam videonya, Eliana sang ibu menyatakan anaknya cukup terganggu dengan kewajiban menggunakan jilbab. (antara news, 26/1)

Hal ini jelas menimbulkan kesan negatif yang berunsur paksaan. Sehingga tidak heran jika Mendikbud turun tangan dengan menyatakan bahwa apa yang terjadi di SMKN 2 Padang tersebut adalah bentuk intoleransi atas keberagaman. Tindakan ini bukan saja melanggar peraturan UU, melainkan juga nilai Pancasila dan kebhinekaan, ungkapnya. Karena itu pihaknya akan segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat, termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan. 


Dibalik Isu Jilbab dan Intoleransi


Sesaat setelah kasus jilbab di SMKN 2 Padang ini mencuat, Kabid Advokasi Perhimpunan untuk Pendidik dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa pelarangan jilbab seperti ini pernah terjadi di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019. Begitu pun di tahun 2014 peristiwa serupa terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Bahkan diduga pemaksaan jilbab di sekolah lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Maka belajar dari pepatah asli negeri kita, katanya tak ada asap kalau tak ada api. Jadi jika kasus intoleransi dan keragaman ini terjadi berulang kali, pertanda bahwa isu-isu ini telah memiliki designer ulung yang siap merekonstruksi karya dengan pola-pola tertentu sesuai kebutuhan. 

Tetapi kontroversi jilbab di SMKN 2 Padang ini rupanya masih menggunakan pola dasar yaitu mengkambing hitamkan Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah, yang merujuk pada Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Padahal menurut keterangan mantan Walikota Padang, Fauzi Bahar aturan ini telah berjalan selama 15 tahun lebih. 

Keterangan yang disampaikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang berhasil mencatat adanya 421 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah antara tahun 2009-2016 seolah menjadi heater yang menaikkan suhu kasus ini sampai mendidih. Maka dapat dibayangkan efek baliknya. Perda-perda yang bermuatan intoleransi dan bertentangan dengan Konstitusi serta nilai-nilai Pancasila harus siap dikoreksi. Khususnya perda yang implementasinya di lingkungan sekolah.

Adapun kebijakan-kebijakan yang dipandang diskriminatif itu mayoritas berkaitan dengan kewajiban perempuan, seperti  mengenakan jilbab, larangan keluar malam, serta pembatasan terhadap minoritas agama seperti Syiah dan Ahmadiyah.

Dalam sorotan khasnya yang selalu  menyudutkan Islam, aktivis perempuan Nong Darol Mahmada juga mengungkapkan jika penerapan perda berdasarkan agama sering diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok agama minoritas. Contohnya adalah perda yang mengatur kesusilaan. Berdasarkan perda ini kerap kali perempuan yang keluar malam diasumsikan sebagai pekerja seks. Akibatnya, stigma dan label dibebankan kepada perempuan. (VOA Indonesia, 26/11)


Islam Mengatur Pakaian Wanita


Isu pelarangan Jilbab yang berujung pada tuduhan Intoleransi dan berdampak pada menguatnya Islamophobia telah digandrungi di negeri ini. Entah apa sebabnya. Terlebih lagi setelah topik bahasannya diperluas hingga menyentuh tataran perda syariah. Tangan-tangan gatal bermunculan seperti tak sabar untuk melakukan revisi Perda, membatalkannya atau bahkan mengganti dengan yang lebih relevan. Sebab perda syariah terlanjur menyandang label sebagai trouble maker. Banyaknya problem yang muncul silih berganti juga diklaim lahir dari pemberlakuan Perda Syariah.

Miris. Tapi demikianlah kewajaran yang mesti terjadi dalam negeri pengekor demokrasi. Budaya sekulerisme telah merusak pemikiran dan menggerogoti imajinasi. Sehingga tidak ada lagi tempat dan ruang bagi berseminya Islam sebagai sebuah aturan kehidupan. Sebab syariah Islam hanya dipinang dan diterapkan pada ranah yang bersifat individual, serta dikerdilkan sebatas ajaran ritual. Tapi  saat harus ikut campur dalam urusan pemerintahan, Islam dicampakkan dan dibuang

Padahal telah menjadi rahasia umum bahwa Islam memiliki kompleksitas untuk mengatur dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan kehidupan manusia. Sejak persoalan yang berkaitan antara seorang individu manusia dengan dirinya sendiri, seperti masalah apakah perempuan harus berjilbab atau tidak, hingga persoalan kehalalan produk makanan yang akan dikonsumsinya.

Pengaturan yang meliputi aspek sosial, yang mengakomodir urusan pribadi manusia dengan masyarakat, misal dalam masalah mewujudkan jaminan kesehatan masyarakat akibat serangan Covid-19, dan meluas hingga menyentuh ranah pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Satu hal lagi yang tidak bisa dilepaskan dari prinsip Islam paling esensial yakni terkait pengaturan Islam dalam urusan ibadah manusia. Mencakup interaksi khusus seorang hamba dengan Tuhannya.

Fokus pada kewajiban wanita muslimah dalam menutup aurat dengan mengenakan kerudung dan jilbab saat keluar rumah. Maka hal ini tertuang dalam firman Allah SWT,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada para wanita mukmin, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka…’” (QS an-Nur [24]: 31)

Adapun kewajiban berjilbab terdapat dalam firmanNya :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan para wanita Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…'” (QS al-Ahzab [33]: 59)

Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Secara bahasa, di dalam kamus Al-Muhith dinyatakan bahwa jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.

Meskipun para mufasir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Namun menurut Imam Qurthubi, dari berbagai pendapat yang ada, yang sahih adalah pendapat bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh perempuan (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XIV/243).

Jilbab inilah busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum oleh seorang wanita muslimah, seperti di jalan, di pasar, di kampus, dan tempat-tempat umum lainnya

Selain dalil Al-Qur’an, dalam As Sunnah juga terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan kewajiban menutup aurat baik atas laki-laki maupun perempuan. Khusus terkait muslimah, Rasulullah Saw., antara lain, bersabda,

إِنَّ الجَارِيَةَ إذَاحاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أنْ يُرَى مِنْها إلاَّ وَجْهُهَا وَيَدَاها إلىَ الْمِفْصَلْ

“Sungguh seorang anak perempuan, jika telah haid (balig), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abu Dawud).

Tetapi apakah prinsip berpakaian dalam Islam ini juga wajib diadopsi wanita non muslim yang hidup sebagai warga negara Khilafah?. Maka jawabnya, mereka para ahludz dzimmah dibiarkan memeluk akidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu juga saat mereka hendak memenuhi kebutuhan dalam hal makanan, minuman, dan pakaian, diperlakukan sesuai dengan agama mereka, dalam batasan yang diperbolehkan oleh syariat. 

Pertama, bahwa pakaian sesuai agama mereka adalah pakaian agamawan mereka dan agamawati mereka, yaitu pakaian rahib dan pendeta serta pakaian rahib perempuan. Laki-laki dan perempuan nonmuslim boleh mengenakan pakaian semacam ini. Kedua, bahwa syariat Islam menetapkan batasan berupa hukum-hukum yang berlaku dalam  kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik muslim maupun nonmuslim, untuk laki-laki dan perempuan.

Batasan ini mengandung arti bahwa pakaian non muslim dalam kehidupan umum adalah sama dengan wanita muslimah. Pakaian sesuai agama mereka hanyalah pengecualian. Ketentuan pakaian dalam kehidupan umum ini berlaku atas seluruh individu rakyat. Tidak dikecualikan untuk non muslim kecuali pakaian yang sesuai agama mereka. Selain itu, mereka wajib menutup aurat, tidak ber-tabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung.

Jejak sejarah turut menjadi saksi bahwa sepanjang masa Khilafah, para wanita, baik muslimah maupun non muslim mengenakan jilbab. Hingga saat wanita muslimah maupun non muslim itu tinggal di perkampungan, pakaian-pakaian mereka pun tidak bisa dibedakan.

Inilah bukti bahwa pakaian perempuan muslim maupun nonmuslim dalam kehidupan umum diatur sesuai syariat Islam 

Karenanya, jika saat ini masalah pakaian wanita muslimah atau pun non muslim diperdebatkan, bahkan dijadikan senjata untuk menyerang Islam, mungkin kita butuh menyimak kembali kejujuran Hoktenig,  seorang dosen ilmu hukum di universitas Havard pada tahun 1932. Ia pernah mengatakan, 

"Sesungguhnya jalan menuju kemajuan bagi negeri-negeri Islam bukan dengan menggunakan sistem barat yang bersemboyan bahwa agama tidak mempunyai hak sedikit pun untuk berbicara dalam masalah kehidupan individu sehari-hari, tentang perundang-undangan dan sistem tata Surya. Akan tetapi hendaklah mereka menggali dari sumber agama itu sendiri karena di sanalah sumber segala kemajuan dan perkembangan. Ada sementara orang yang bertanya-tanya apakah sistem Islam mampu melahirkan hukum-hukum baru dan mengeluarkan undang-undang yang bebas yang sesuai dengan tuntutan kehidupan modern? Maka jawaban atas pertanyaan itu ialah sesungguhnya Islam dengan sistem nya memiliki kesiapan untuk berkembang lebih pesat melebihi kemampuan sistem-sistem lain yang sudah ada."
 
"Persoalan bukan terletak pada ketidakadaan sarana untuk tumbuh dan bangkit dengan syariat Islam akan tetapi pada ketidakadaannya minat untuk menerapkan nya, dan aku merasa dalam keadaan benar ketika aku menyatakan bahwa syariat Islam memiliki banyak sekali ajaran dan prinsip yang sempurna yang mendorong untuk maju dan berkembang dengan baik." 

(Jalan Menuju Iman, Abdul Majid Azis, 1989). 



*Penyuluh Agama Islam dan Penulis Buku

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak