Oleh Lulu Nugroho*
Tindakan asusila yang dilakukan predator seksual, semakin meresahkan umat. Mereka menyasar siapa saja, bahkan anak-anak di bawah umur. Buah hati yang seharusnya dilindungi dari segala mara bahaya, justru menjadi korban ulah mereka. Padahal anak-anak adalah mutiara umat yang kelak dipersiapkan menjadi pemimpin-pemimpin peradaban.
Sebagaimana baru-baru ini terjadi pelecehan seksual terhadap 13 anak di sebuah masjid di Kabupaten Cirebon. Tersangka NF adalah seorang marbot masjid, warga Kelurahan Kutopanji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Selain melakukan tindakan buruknya, dia pun merekamnya di ponsel.
Kini Kabupaten Cirebon naik ke peringkat kedua kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Barat pada tahun 2020 lalu, setelah Sukabumi. (Suarajabar.id, 20/1/2021). Sehubungan dengan hal itu, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun mendukung Polresta Cirebon untuk menerapkan pasal pemberatan PP Nomor 70 tahun 2020 tentang kebiri kimia pada NF (52).
Sebab tindakan predator seksual benar-benar membahayakan anak-anak. Beberapa negara bahkan telah memberlakukan sanksi tersebut seperti Ukraina, Amerika Serikat, Republik Ceko, dan Republik Ceko, serta Indonesia. Hanya saja, hal yang demikian masih menjadi perdebatan di kalangan pakar.
Sebagian dokter dan tenaga medis menolaknya, bahkan dianggap melanggar sumpah dokter. Hal ini disebabkan munculnya sejumlah masalah kesehatan akibat terganggunya estrogen seperti osteoporosis, penyakit kardiovaskular, dan metabolisme. Juga bisa terjadi depresi, ketidaksuburan, serta anemia.
Kalangan ulama pun menentang hukum kebiri, karena akan mengubah ciptaan Allah. Jika ini hal ini diterapkan, maka akan muncul hukum baru yang tak pernah dikenal sebelumnya dalam konsep jinayah Islamiyah. Penetapan hukum bagi predator pun harus merujuk pada hukum-hukum asal yang sudah ada.
Pada kasus pemerkosaan bisa diambil dari hukum asalnya, yakni zina atau homoseksual. Jika masuk dalam kategori perzinaan, maka hukumannya cambuk 100 kali atau rajam (bunuh). Jika tergolong liwat (homoseksual), dihukum mati. Jika sebatas pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai melakukan zina atau homoseksual, hukumannya takzir.
Inilah sebaik-baik persanksian yang tepat diberikan pada pelaku kerusakan. Agar menjadi jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). Kitab-kitab turats (klasik) hukum Islam, mayoritas ulama mengharamkan kebiri untuk manusia. Ibnu Hajar al-Asqalani dan Syekh Adil Matrudi dalam Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta'alliqah bi Al Syahwat bahkan menyebutnya hal yang demikian sebagai kesepakatan ulama.
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan, “Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam sedang ketika itu tidak ada wanita pada kami.” Maka kami bertanya : “Apa sebaiknya kita kebiri diri kita ?” Maka Beliau melarang kita untuk melakukannya”. (HR. Bukhari-Muslim)
Tidak hanya sanksi kebiri, tetapi sengkarut kekerasan seksual pada anak inilah yang perlu kita kritisi. Masalah ini tidak berdiri sendiri. Bukan hanya tersangka yang bersalah, tapi seluruh penyebab terjadinya kerusakan, turut andil menjerumuskan umat ke dalam bahaya. Inilah akibat penerapan liberalisme dalam kehidupan bernegara.
Paham kebebasan telah menggelandang hasrat seksual tanpa arah. Padahal sejatinya ia merupakan naluri yang bersifat alami, ada pada setiap manusia. Secara fitrah, naluri ini merupakan potensi manusia untuk melanjutkan keturunannya. Akan tetapi tanpa kendali agama, maka manusia akan melampiaskan nafsu bejatnya pada siapapun dan dengan cara apapun.
Sementara Islam, memiliki seperangkat aturan yang melindungi manusia secara menyeluruh. Melalui pernikahan, memberi jalan untuk memenuhi naluri seksual. Tidak dengan menghilangkannya atau menekannya. Tidak juga dengan suka sesama jenis, zina, atau pedofilia. Islam memiliki rambu-rambu yang jelas dalam sistem pergaulan (nizhom ijtimaiy), yang mengatur interaksi pria dan wanita.
Tugas negara adalah menjaga suasana keimanan di dalam negeri, agar pemikiran rusak tidak lagi mendapat tempat di negeri ini. Sebab jika tidak, maka akan terus muncul banyak kemaksiatan. Pada akhirnya negara sibuk mengurusi berbagai persoalan sehingga tidak sempat lagi membangun negara.
Karenanya mengatasi kasus predator seksual tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku, tapi juga harus menutup semua celah pemicunya yaitu dengan mencampakkan liberalisme, menutup pintu pornografi dan porno aksi. Lalu kembali pada aturan Allah dan menetapkan persanksian yang juga datangnya dari Allah. Wallahu alam bish shawab.
* Pengemban dakwah
Tags
Opini