HURU HARA BANJIR




Oleh
Maswa_MH

Awal tahun menjadi momen yang tepat bagi sebagian orang untuk membuka lembaran baru, mengawali hari dengan kebaikan dan kebahagian. Namun di awal tahun 2021 masyarakat Indonesia kembali berduka. Saat pandemi belum berakhir, musibah kembali datang silih berganti. Berbagai macam bencana menyapa masyarakat Indonesia, seakan ingin menyampaikan pesan penting dari Sang Pengatur Alam Semesta.
Mulai dari bencana longsor, tragedi pesawat jatuh, gempa bumi, dan yang saat ini menjadi sorotan masyarakat Indonesia ialah banjir.

Saat musim hujan tiba, beberapa kota yang ada di Indonesia harus siap berhadapan dengan luapan air yang dengan sigap menyapa pemukiman mereka. Tidak sedikit rumah warga yang rusak akibat terpaan air yang sangat deras. Banjir selalu menjadi persoalan dari dulu hingga sekarang . 

Kota Semarang menjadi salah satu kota yang harus berhadapan dengan luapan air, setelah beberapa minggu lalu Kalimantan Selatan  diterpa banjir bandang. Penyebabnya sering kali dikaitkan dengan faktor hujan yang cukup tinggi . Faktor ini bukan satu-satunya penyebab terjadinya banjir. Namun ada faktor lain yang dapat menyebabkan luapan air ini terus menghampiri dan menyapa masyarakat Indonesia pada saat musim hujan.

Bosman Batubara, peneliti tata kelola air dan kota, kini mahasiswa doktoral dari IHE Delft Institute for Water Education dan Department of Human Geography, Planning and International Development, University of Amsterdam, mengatakan persoalan di hulu dan hilir Kota Semarang juga erat kaitanya dengan apa yang terjadi di daerah terdekat, khususnya Kabupaten Demak dan Kendal. 
Di satu sisi ada kerusakan lahan di kawasan Semarang atas atau hilir, lalu di sisi lain ada ekstraksi berlebihan terhadap air tanah dan pembangunan yang masif menjorok ke arah laut. Ini semua membuat penurunan muka tanah yang diperkirakan mencapai 10 sentimeter setiap tahun. (https://tirto.id/kerusakan-lingkungan-penyebab-banjir-semarang-bukan-sekadar-hujan-f97j)

Sejak berada di bangku Sekolah Dasar, pemahaman tentang larangan membuang sampah sembarangan di sungai, menebang pohon tanpa mengadakan reboisasi akan menyebabkan banjir .
Informasi tersebut sudah sejak dini ditanamkan kepada masyarakat. Namun apa yang terjadi? Kepedulian masyarakat terhadap lingkungan belum maksimal. 

Selain itu, Indonesia yang memiliki kekayaan alam cukup melimpah, salah satu diantaranya ialah hutan. Banyaknya pohon yang seharusnya mampu menyerap air dengan baik, kini menjadi suatu hal langka yang harus dilestarikan.

Kekayaan alam yang ada dalam negeri, bukanlah milik penguasa ataupun kaum tertentu, melainkan milik rakyat . Adapun negara berkewajiban untuk mengelolanya dan mengembalikan kepada rakyat, bukan diperjualbelikan kepada kaum elite ataupun orang-orang asing. Hasil kekayaan alam sudah seharusnya kembali kepada rakyat . Sehingga, tidak ada lagi rakyat menderita akibat kelaparan, kekurangan pekerjaan, dan tempat tinggal . 

Banjir akan selalu menjadi persoalan bagi negeri ini jika semua pihak tidak berkontribusi dengan baik. Masyarakat dan penguasa perlu mengubah tata ruang yang ada. Daerah hulu seharusnya dibiarkan menjadi hutan lindung, tidak beralih fungsi menjadi villa, dan sejenisnya. Penguasa juga harus tegas menjaga tata ruang ini, tidak mudah terpengaruh atau tergiur menjadikan lahan sebagai tempat wisata. 

Di hilir, seharusnya sungai dijaga kebersihannya dan dan lagi-lagi untuk penguasa harus tegas dan menaikkan kompetensi serta kedisiplinan para petugas perawatan infrastruktur anti banjir, agar seluruh sungai, waduk, tanggul dan pompa berfungsi optimal.
Tidak hanya sampai pada level teknis, pelanggaran tata ruang baik di hulu maupun hilir juga disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme.

Hampir semua permasalahan diserahkan kepada pasar.  Akibatnya, mereka yang minim dalam perekonomian kalah dan menjual lahannya kepada investor.
Jadi persoalan banjir yang ada di negeri ini tidak hanya persoalan teknis yang harus diperbaiki. 

Namun akar dari permasalahan inilah yang harus diperbaiki. Sistem ekonomi yang selalu diserahkan kepada pasar (kapitalis), padahal dalam hal perlindungan lingkungan, pasar sering gagal fungsi. Hal ini dikarenakan nilai lingkungan dan keselamatan tidak mudah dikonversi pada secarik kertas bertuliskan angka. Begitulah fakta dalam sistem kapitalisme

Hal ini berbeda jika negara menerapkan sistem Islam. Dalam Islam, terkait pembangunan di lahan umum, negara akan menetapkan daerah-daerah tertentu untuk dijadikan cagar alam yang harus dilindungi dan untuk kawasan buffer zone atau kawasan penyangga, tidak boleh dimiliki oleh suatu kelompok atau individu. Buffer zone adalah lahan yang tidak dibangun dan dibiarkan sebagaimana aslinya, misalnya rawa, danau, tanah lapang, semak atau hutan belukar sekalipun. Hal ini akan dijaga oleh negara yang menerapkan sistem Islam, karena kawasan Buffer Zone dapat memelihara keseimbangan ekologi dan menjadi paru-paru kota. 

Selain itu, bencana yang menimpa negeri ini juga tidak lepas dari kesalahan penduduk bumi (manusia). Sebagaimana Firman Allah Swt., artinya “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali kejalan-Nya". (QS ar-Rum,(30):41).

Maka, untuk mengakhiri semua bencana alam yang terjadi, seluruh komponen bangsa ini bersama-sama untuk bertaubat dan kembali kepada Allah SWT., Menerapkan dan menaati segala ketetapan hukum yang telah dibuat-Nya tanpa harus memilah milih aturan-Nya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak