Oleh: Nabilah
( Pegiat Majelis Taklim Muslimah Cerdas)
Kasus yang terjadi anak mengugat ayahnya RE Koswara (85 tahun) sebesar 3 miliyar karena tanah adalah salah satu dari sekian kasus-kasus yang marak terjadi akhir-akhir ini. Ini seperti dilansir dari DeskJabar.com. Walaupun gugatan itu berakhir manis mereka bisa berdamai. Pihak dari pengugat meminta maaf dan pihak tergugat memaafkan hasil dari mediasi persidangan (www.iNews.id).
Beberapa kasus yang serupa sering terjadi berkenaan persengketaan antara orang tua dan anak-anak. Persengkataan itu antara lain berupa anak yang meminta motor kepada ibunya, anak yang meminta hp kepada ayahnya, atau karena adanya perebutan harta warisan. Hingga akhirnya mengakibatkan saling melaporkan, saling mencaci, melakukan penganiayaan, penyiksaan, bahkan melakukan pembunuhan. Mengapa ini bisa terjadi?
Kerusakan demi kerusakan dari hubungan ini diakibatkan oleh pondasi dasar ketika rasa khouf kepada Allah SWT telah lenyap. Terkikis oleh asas sistem sekularisme-kapitalisme hari ini yang mendominasi cara pandang manusia dalam menjalani kehidupan. Tanpa berpikir panjang dan tidak lagi mengindahkan nilai-nilai dan hukum aturan yang diridhoi Allah SWT sebelum berbuat sesuatu.
Dalam Islam ada fitroh dan kedudukan yang harus dipahami. Sebagai orang tua harus memahami bahwa Dia sebagai pengemban amanah dari Allah SWT. Demikian juga anak harus memahami kedudukannya bahwa ada kewajiban untuk berbakti kepada orang tuanya. Saat pemahaman ini ada di dalam diri seseorang maka kasus-kasus yang marak saat ini tidak terjadi.
Namun saat ini yang berlaku adalah sistem sekulerisme-liberalisme-Kapitalisme. Sistem ini yang secara tidak langsung mendasari kasus-kasus yang marak saat ini. Berawal dari kurikulum pendidikan yang menjauhkan pendidikan agama dengan kehidupan. Ini menjadikan bibit-bibit yang tumbuh pada hati anak-anak yang jauh dari sifat khouf/takut kepada Allah SWT. Yaitu dengan memahami apa yang hendak mereka lakukan. Juga mengetahui apa tujuan dari yang akan dilakukan. Bahkan efek apa yang terjadi jika dia melakukan perbuatan-perbuatan itu. Selama ini mereka berbuat tanpa didasarkan pada aturan Allah SWT. Hal ini akan merusak cara berfikir dan sikap yang dimiliki anak. Mereka bersikap tanpa ada beban dan rasa bersalah. Apakah ini berdosa atau mendatangkan pahala. Rasa bersalah ini sudah terkikis habis akibat paham Sekuler dan Kapitalis.
Dalam sistem sekuler interaksi dalam keluarga bernilai materi semata. Hubungan orang tua- anak diukur dengan untung rugi. Di sisi lain nilai liberal telah menghilangkan penghormatan terhadap orang tua. Liberalisme juga telah gagal dalam menciptakan ketenangan dalam keluarga. Liberalisme telah menimbulkan konflik antar anggota keluarga.
Untuk menciptakan keluarga yang harmonis haruslah ada paradigma yang benar tentang hubungan orang tua dan anak. Orang tua adalah sebagai pengemban amanah yang bertanggung jawab terhadap penghidupan anaknya. Kasih sayang dan hak-hak yang lainnya harus dipenuhi oleh orang tua. Begitupun anak mempunyai kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua. Membuat keduanya tersenyum adalah bagian dari membahagiakan mereka yang bisa mendatangkan pahala. Dan banyak perintah-perintah Allah mewajibkan anak untuk birrul walidain, berkata sopan, tidak membentak dan lainnya.
Untuk menumbuhkan suasana tersebut maka dibutuhkan solusi sistemik pula. Mulai pendidikan awal yang berasas aqidah Islam. Aqidah ini yang dibentuk di dalam pengajaran kurikulum pendidikan. Selain itu adanya amar makruf dan saling mengingatkan di tengah masyarakat. Juga adanya negara sebagai pihak pembuat kebijakan. Membuat kebijakan yang mampu memberikan jaminan adanya periayahan dalam keluarga. Selain itu negara juga berperan untuk melakukan periayahannya terhadap rakyat sehingga masing-masing dari mereka bisa menjalankan perannya dengan maksimal baik kepada keluarga, masyarakat maupun negara.