Oleh : Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Komunitas dan lembaga pegiat bahasa Sunda akan menyelenggarakan berbagai acara untuk menyambut Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII), 21 Februari 2021. Sejumlah acara bakal diselenggarakan untuk memeriahkan acara tahunan itu.
Menurut Koordinator Acara HBII Malik, tahun ini menjadi momentum untuk merevitalisasi aksara, bahasa dan budaya Sunda. “Adanya lomba-lomba yang diadakan dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional akan memperlihatkan indikator nyata bahasa Sunda tidak hanya masih banyak penuturnya, tapi juga banyak yang menguasainya. Begitu pula dengan aksara Sunda,” ucap Malik, Jumat (jawapos.com19/2/2021).
HBII merupakan salah satu program UNESCO untuk melestarikan dan melindungi semua bahasa yang digunakan oleh masyarakat di dunia. Pentingnya eksistensi bahasa daerah secara resmi diakomodasi oleh UNESCO melalui kebijakan penetapan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional yang mulai disahkan pada tahun 1999.
Jika UNESCO sebagai penginisiasi tentu bukan sekedar peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Namun ada agenda lain dibelakang acara tersebut. Sifat kapitalis yang melekat pada badan bentukan PBB dimana didalamnya juga banyak negara kafir itu sudah sangat kentara, setidaknya ini adalah program pengawasan terhadap negeri-negeri Muslim agar tak melenceng dari hegemoninya.
Mungkin kita lupa, peremehan yang terjadi sebagaimana para pemimpin terdahulu, dengan membiarkan kafir merangsek masuk lewat perundang-undangan, kurikulum pendidikan, sistem ekonomi dan lain sebagainya adalah celah yang kemudian menghancurkan institusi penerap syariat itu. Dan kini kaum Muslim bak anak ayam tanpa induknya.
Peringatan Hari Bahasa Ibu semestinya tak hanya berupa ceremonial semata atau donasi bagi mereka yang membutuhkan. Sebab sejatinya hari ini agar ada bahasa ibu yang terabaikan tanpa perhatian samasekali, mereka butuh dimengerti pula meskipun ia bukan orang Sunda atau yang lain. Hal ini samasekali tak menyentuh nasib perempuan dan sangat parsial, keadaan jadi terpecah belah padahal seharusnya satu.
Tak hanya di Indonesia, tapi juga di belahan bumi lainnya, wanita Uiyghur yang diperkosa, ditawan, wanita Rohignya yang terlunta-lunta terusir dari negeri sendiri, atau wanita di Indonesia yang mati kelaparan, menjadi pembunuh anak dan suaminya, bullying, bahkan masih banyak yang menjadi tulang pulang keluarga. Siapakah yang dapat mendengar bahasa mereka?
Dan kita tak butuh sikap ekskufif, memisahkan dari yang bukan kelompoknya. Sebab dalam Islam perempuan adalah tiang negara, mulia atau tercelanya wanita bergantung dari bagaimana negara menerapkan aturan yang berbasis kebenaran hakiki, Wahyu. Maka tak lain dan tak bukan, bahasa yang paling mudah dimengerti, paling memuaskan akal, menentramkan hati dan sesuai fitrah adalah Islam, serta layak menjadi pengikat antar manusia untuk bangkit dari keadaan yang samasekali tak berpihak kepada wanita. Wallahu a' lam bish showab.
Tags
Opini