Oleh
: Aisyah Al-Insyirah
Dari
hasil survei sepanjang Februari-September 2020, didapati jumlah Gen-Z mencapai
75,49 juta jiwa atau setara 27,94 persen total populasi Indonesia yang
berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara generasi Milenial mencapai 69,90 juta jiwa
atau setara 25,87 persen. Sedangkan Generasi X yang lahir tahun 1965-1980
sebanyak 21,88 persen.
Sementara,
Generasi Baby Boomer yang lahir pada 1946-1964 hanya 11,56 persen. Apalagi
generasi Pre-Boomer yang lahir sebelum 1945, hanya 1,87 persen dan generasi
post-Gen Z atau lahir setelah 2013 (10,88 persen). Artinya, penghuni negeri ini
setengahnya lebih adalah Gen-Z dan generasi Milenial alias usia produktif.
(tempo.com 23/1/2021).
Dari
hasil sensus penduduk yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui jumlah
penduduk Indonesia hingga 2020 didominasi generasi Z dan generasi milenial. Generasi
Z adalah sebutan bagi mereka yang lahir pada 1997 hingga 2012 atau berusia
berkisar antara 8-23 tahun. Hal ini diharapkan akan membawa manfaat yakni
meningkatkan perekonomian negara, membentuk generasi emas, meringankan beban
hidup.
Generasi
Z korban sistem penanganan rezim yang abai terhadap generasi di masa pandemi. Akibat
pengabaian, ada siswa masuk RS jiwa dan kecanduan gadget. Anak-anak awalnya
terpapar gadget lalu menyebabkan pembiasaan dan berakhir dengan kecanduan.
Pandemi semakin memperparah kondisi tersebut.
Ditambah
kapitalisasi yang mencengkeram preferensi generasi muda demi melanggengkan
hegemoni konglomerasi. Disempurnakan dengan penguasa yang abai terhadap
generasi di masa pandemi, menjadikan Gen-Z sebagai korban terberat.
Buruknya
pengelolaan pendidikan saat pandemi membuat anak-anak hanya sibuk mengerjakan
tugas, yang berujung pada stres. Pelajarannya yang teoritis (tidak aplikatif)
hanya memaksakan beban materi pada anak. Ditambah proses pendidikan yang hanya
sebatas transfer ilmu bukan membentuk pemahaman, menyebabkan belajar menjadi
sesuatu yang membosankan.
Gonta-gantinya
kurikulum pendidikan dan jenis ujian membuat peserta didik pusing hingga
akhirnya meremehkan pendidikan. Padahal, semua itu tak menyentuh persoalan
mendasar pendidikan negeri ini.
Generasi
terus dijejali konten-konten yang mengajak pada kebebasan bertingkah laku.
Bahkan, bahayanya tidak berhenti pada individu si pelaku, tapi juga merembet
pada kriminalitas yang merugikan banyak orang. Indonesia yang sekuler, telah
membuang jauh ajaran Islam dalam menyelesaikan aturan kehidupan. Bisnis haram
bebas menggurita di setiap sudut kota dan desa. Mirisnya, anak-anak Gen-Z turut
menjadi pelanggan loyal yang memperbesar keuntungan korporasi.
Hasil
survei Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2018
menunjukkan, sebanyak 97 persen dari 1.600 anak kelas 3 sampai kelas 6 SD sudah
terpapar pornografi secara langsung maupun tidak langsung. Semakin menyedihkan,
saat negara tak bisa berbuat apa-apa terhadap apa yang tertimpa generasi.
Padahal, generasi adalah aset bangsa yang seharusnya dijaga demi
keberlangsungan negara. Sungguh sayang, negara di bawah sistem kapitalisme
telah menjadikan generasi hanya sebatas pasar yang menjanjikan keuntungan.
Generasi
Cemerlang dan Sistem Kehidupan Islam
Sebagai
ajaran yang langsung bersumber dari penciptanya manusia, sistem Islam yang
komprehensif akan mampu menjadikan generasi sebagai harapan, bukan ancaman.
Keberhasilan
mencetak generasi unggul, setidaknya bisa dilihat dari dua faktor.
Pertama,
pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Sehingga arah, tujuan, kurikulum,
dan metode penerapan kurikulumnya akan senantiasa mengacu pada akidah Islam.
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islam dan membekali
anak-anak dengan tsaqafah Islam. Seperti gadget, teknologi canggih ini akan
menghadirkan fitur-fitur yang bermaslahat bagi umat bukan malah menciptakan
mudarat. Semua itu akan hadir jika pendidikannya berlandaskan Islam dan
berorientasi pada terwujudnya kepribadian Islam. Sehingga sumbangsih mereka
berguna bagi umat.
Kedua,
sistem ekonomi Islam akan menciptakan atmosfer bisnis yang sesuai syariat dan
akan menghilangkan bisnis hiburan yang berorientasi syahwat dan kesenangan
duniawi semata. Bisnis pornografi misalnya, tak akan ada. Selain karena para
pebisnisnya takut akan murka Allah SWT, juga karena negara dengan tegas
melarang adanya bisnis yang mengundang maksiat. Begitu pun fitur-fitur gadget,
termasuk aplikasi game online yang melenakan manusia pada kelalaiannya
beribadah, akan hilang tersebab permintaan akan hal tersebut akan hilang pula.
Bisnis yang akan menjamur adalah bisnis yang menghantarkan penduduknya pada
ketakwaan. Fitur-fitur gadget akan dipenuhi dengan aplikasi yang membantu agar
jawil (suasana) iman di tengah-tengah umat terbentuk.
Kedua
faktor di atas tentu tak bisa lepas dari peran penguasa yang amanah dan sistem pemerintahan
yang berlandaskan Islam. Mustahil akan terlahir generasi yang gemilang di
tengah arus kapitalisasi dan liberalisasi.
Oleh
karena itu, sudah selayaknya kaum muslim bersegera mewujudkan tatanan kehidupan
yang Islam. Agar terlahir darinya generasi yang siap membangun peradaban mulia.
Wallohu
A'lam Bishowab