Oleh F.Dasti
Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Sekolah Negeri di Indonesia mendapat tentangan keras dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Ia menilai SKB yang dibuat Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas itu akan mengarahkan Indonesia menjadi negara sekuler. Hal itu disampaikannya saat diwawancara oleh tvOne (4/2/2021).
Pro dan kontra terkait munculnya SKB cukup menyita perhatian. Bagi sebagian orang yang pro, SKB ini dianggap akan mampu menghilangkan bentuk intoleransi di sekolah utamanya terkait pakaian. Hal ini dirasa memberi solusi atas kasus intoleransi belakangan ini. Setelah isu intoleransi di lingkungan sekolah mencuat kembali saat ada aturan berseragam yang meminta siswi non-muslim memakai jilbab di SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat. Sedangkan sebagian pihak yang kontra lebih mengkhawatirkan bahwa SKB ini bisa berpeluang menjadi penegasan atas sekulerisme negara. Hal ini berpotensi mengancam syariat islam berupa jilbab.
Isu intoleransi memang kerap mencuat dan menjadi isu sensitif yang akan selalu mendapat banyak respon. Namun respon cepat yang ditunjukkan tiga menteri atas kejadian di Padang tentu sedikit berbeda dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Terkait adanya kasus pelarangan mengenakan jilbab di sekolah di Bali ternyata bukan hanya dilakukan SMAN 2 Denpasar. Lebih dari itu, pelarangan mengenakan jilbab di Bali ditengarai dilakukan sebagian besar sekolah yang ada di seluruh kabupaten dan kota di Bali. (republika.co.id)
Tak bisa dipungkiri, masih banyak anggapan permasalahan intoleransi adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari islam dan penerapannya dalam ranah publik. Kalau sudah begini, maka Perda syariah dituding jadi biang keladi. Ibarat kata, "tuh kan gara-gara paham islam radikal dan perda syariah".
Sebagaimana dilansir dari cnnindonesia.com, polemik wajib jilbab di SMKN 2 Padang bagi non-muslim disebut tak lepas dari peraturan daerah (perda) yang intoleran. Aktivis dari Komunitas Pembela HAM Sumbar Wendra Rona Putra mengatakan bahwa masalah itu tak lepas dari Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005.
Meski tidak mau dikatakan menjadi negara sekuler. Namun agaknya kekhawatiran Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas bukan sesuatu yang berlebihan. Permasalahan baru-baru ini seolah menjadi penegasan bahwa dari awal, sistem demokrasi yang di terapkan di negeri ini memang tidak sejalan dengan penerapan islam. Islam dalam ranah individual dibiarkan, sedangkan penerapan aturan islam dalam ranah publik seolah menjadi momok yang menakutkan.
Benarkah sejatinya sekulerisme itu sudah terjadi di negeri ini ?
Sekularisme (pemisahan antara agama dari kehidupan) mengharuskan adanya pemisahan antara agama dengan institusi negara. Pemisahan antara agama dari kehidupan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi sekulerisme adalah hal yang dirasa mampu melindungi hak-hak masyarakat yang beragama minoritas. Sehingga ketika suatu negeri memilih demokrasi sebagai sistem yang dipakai, maka secara otomatis sekulerisme akan diambilnya. Sehingga menjadi mustahil menginginkan penerapan islam secara menyeluruh dalam sistem ini.
Dari gambaran realitas di atas seolah non-muslim hanya akan terlindungi hak-haknya ketika suatu negara mengambil demokrasi dan sekulerisme. Namun benarkah demikian ?
Hari ini masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan syariat Islam atas non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan perpecahan serta sikap intoleran yang lain. Hal ini berdampak pada pandangan negatif terkait penerapan aturan islam dalam kehidupan. Namun sejarah justru membuktikan kebalikannya. Penerapan syariat islam dalam institusi khilafah justru memunculkan kebaikan bagi seluruh manusia. Baik muslim maupun non muslim.
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)
Jika kita kaji, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana mengurusi urusan kehidupan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Khilafah. Justru dengan adanya penerapan syariat terhadap non Muslim akan jadi metode praktis dakwah Islam kepada non Muslim tanpa paksaan. Karena mereka merasakan langsung bagaimana kemuliaan syariat islam.
Dalam hukum Islam, warga negara Khilafah yang non Muslim disebut sebagai dzimmi. Negara juga memiliki kewajiban menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Jika mau mengakui, Islamlah yang mampu mengurusi masyarakat yang hiterogen dengan baik selama berabad-abad. Jika islam diterapkan secara sempurna maka islam akan mewujudkan rahmat bagi semesta alam. Hal ini juga diakui sendiri oleh sejarawan dari Barat Will Durrent yang bertutur. "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi..." (The Story of Civilization).
Wallahu a’lam bish-shawabi