Oleh Husnia
(Pemerhati Sosial)
Miris, di tengah kondisi pandemi yang makin memuncak negara masih sempatnya mengurusi urusan sepele bahkan bisa dikatakan itu bukanlah masalah yang harus diperbesar, sebab negara tak dirugikan sama sekali dalam persoalan ini. Beberapa pekan ini, Bareskrim Mabes Polri resmi menahan Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok, Jawa Barat. Zaim menjadi tersangka setelah pemberitaan terkait koin dinar dan dirham menjadi alat transaksi pembayaran di pasar tersebut viral. (cnnindonesia, 07/02/2021)
Jika melihat kebijakan pemerintah terkait dengan kasus ini, para pemuka agama pun turut menyoroti perihal tersebut. Salah satunya Ketua adalah PP Muhammadiyah yang mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas Pasar Muamalah yang menggunakan dinar dan dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, KH Anwar Abbas, membandingkanya dengan banyaknya penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali.
Di Bali kita lihat masih banyak orang melakukan transaksi dengan dolar AS, ini tentu saja maksudnya adalah untuk memudahkan transaksi terutama dengan wisatawan asing. Tapi ini tentu tidak bisa kita terima, karena akan membawa dampak negatif bagi perekonomian nasional," kata KH Anwar Abbas dalam pernyataan tertulis kepada kumparan, Jumat (5/2).
Sekulerisme Melahirkan Manusia Islamophobia
KH Anwar Abbas pula menilai terkait transaksi di Pasar Muamalah Depok. Menurutnya, Dinar dan dirham yang digunakan bukan mata uang resmi negara asing, melainkan koin dari emas dan perak yang dibeli dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam) atau dari pihak lainnya.
Bisa dikatakan bahwa dinar-dirham merupakan bagian dari kaum Muslim yang tak akan terpisahkan, sehingga sudah sewajarnya jika negeri ini bahkan seluruh negeri Muslim di dunia menggunakan mata uang tersebut, sebab sejak tegaknya Negara Islam di Madinah dahulu, dinar-dirhamlah yang menjadi mata uang negara.
Lagi pula menurut Muhamadiyah, Pasar di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji Kota Depok bertransaksi menggunakan uang dirham dan bertukar barang bertujuan untuk mencegah riba yang jelas keharamannya di dalam Islam. Dinar dan dirham yang mereka pergunakan itu mirip dengan penggunaan koin di tempat permainan anak-anak, di mana kalau sang anak ingin mempergunakan mainan A misalnya, maka dia harus membeli koin dulu dengan rupiah, lalu koin itulah yang digunakan untuk membayar permainan.
Jika di negeri ini bertransaksi dengan dinar dirham dikriminalisasi, dengan menganggapnya sebagai mata uang asing, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), lantas bagaimana penggunaan dolar di Bali? Bukankah dolar merupakan mata uang asing, Amerika Serikat tepatnya.
Berdasar pada fakta tersebut, pemerintah hanyalah mengkriminalisasi penggunaan dinar dirham semata, bukan mata uang asing sebab jika yang menjadi tolak ukur kasus ini adalah nilai tukar asing maka transaksi di Bali pun seharusnya akan ikut menghadapi proses hukum. Agaknya, ada kekhawatiran di mata pemerintah ketika masyarakat Muslim menggunakan mata uang dinar dan dirham. Tentu saja, bukan karena uang kertas semakin berpeluang untuk tidak dipakai lagi, lebih dari itu kaum Muslim akan mulai menyadari identitas Islam sebagai agamanya. Itulah ketakutan terbesar bagi penguasa.
Phobia terhadap ajaran Islam sudah menjadi ciri khas negeri ini, mengambil sebagian ajarannya dan mencampakkan ajaran yang lainnya yang dinilai mengancam eksistensi kursi jabatan. Pada dasarnya, ketakutan ini lahir dari paham sekular yang memisahkan agama dari tampuk kekuasaan sehingga agama hanya berfungsi untuk mengatur dalam hal ibadah, dan sewaktu-waktu ajaran agama akan dipakai di parlemen ketika menjanjikan manfaat. Jika tidak, maka haram hukumnya agama mengurus dunia perpolitikan.
Ironis memang, jika melihat negeri yang berlandaskan pada kepentingan ini sulit menerima suatu hal yang baik ketika tidak membawa keuntungan materi. Akibatnya, hidup dalam sistem semacam ini membuat keterpurukan semakin menjadi-jadi. Hukum Allah hanya akan diterima jika ada mashalat yang dicapai, tetapi jika tidak maka akan dibabat secara keseluruhan. Padahal, bumi beserta negeri ini adalah milik Allah, yang artinya kita manusia sebagai penghuni harus patuh terhadap perintah dari sang pencipta alam semesta, kehidupan serta manusia angkuh yang berlagak seperti tuhan ingin menguasai dunia.
Hanya Islam Solusi Tunggal
Dalam Islam, emas dan perak adalah standar baku dalam bertransaksi. Artinya, emas dan perak adalah sistem mata uang yang digunakan sebagai alat tukar. Adapun saat ini, dimana dinar dirham yang dikriminalisasi merupakan penampakkan nyata akan Islamophobia terhadap ajaran Islam. Hal ini terbukti ketika penggunaan dolar di kota seberang, pemerintah hanya diam seribu dalih dan tak mengambil tindakan. Sebaliknya, ketika dinar dirham yang digunakan negara justru secara tegas menghukum Zaim yang diduga sebagai inisiator dan penyedia lapak.
Ada ketakutan aneh di mata negara akan eksistensi ajaran Islam. Kekhawatiran penguasa ketika kaum Muslim mulai kembali kepada identitasnya, membuat negara selalu siap siaga berada di garda terdepan untuk menentang aturan Islam itu sendiri termasuk mata uangnya (dinar dirham).
Dinar dan dirham bukanlah barang asing, melainkan jauh dikenal sebelum transaksi menggunakan uang kertas di zaman saat ini. Di masa Rasulullah saw. mata uang ini telah ditetapkan sebagai mata uang umat. Beliau telah membuat standar uang ini dalam bentuk ûqyah, dirham, dâniq, qirâth, mitsqâl dan dinar. Keberadaannya sudah masyhur digunakan oleh masyarakat dalam bertransaksi. Dan Rasulullah saw. mendiamkan berlangsungnya sistem transaksi ini.
Di samping itu, dinar dirham mempunyai keunggulan yang lebih jika dibandingkan dengan alat transaksi lainnya. Misalnya saja, dinar dan Dirham lebih stabil dan tahan terhadap Inflasi. Berdasarkan fakta sejarah, emas dan perak merupakan jenis mata uang yang relatif stabil dibandingkan dengan sistem uang kertas (fiat money).
Sementara, alat tukar rupiah barulah muncul setelah Kepemimpinan Islam runtuh oleh Mustafa kemal attaturk laknatullah yang kemudian mengadopsi pemikiran Barat, sekularisme, Islamophobia dan sebagainya untuk menceburkan kaum Muslim dalam persoalan yang tak berkesudahan, di anataranya melalui penggunaan mata uang kertas yang rawan krisis.
Bagaimanapun kuatnya perekonomian suatu negara, jika sistem penopangnya menggunakan uang kertas, negara tersebut akan rentan terhadap krisis dan cenderung tidak stabil. Bahkan beberapa kejadian yang berkaitan dengan krisis, salah satunya dipicu karena penggunaan sistem uang kertas fiat money. Penggunaan uang semacam ini bisa dipastikan akan membawa rentetan inflasi. Hal ini berbanding terbalik dengan Dinar dan Dirham yang berbasiskan riil emas dan perak. Penggunaan Dinar dan Dirham akan lebih stabil karena nilai nominal yang tertera setara dengan nilai intrisiknya. Sungguh, dinar dirham bukanlah suatu ancaman, melainkan solusi bagi keterpurukan atas penggunaan uang kertas saat ini karena kestabilannya dalam bertransaksi.
Harus dipahami, ketakutan pemerintah terhadap Islamlah yang membuat manusia sekular di negeri ini secara terang-terangan mengkriminalisasikan mata uang khas Islam ini, yaitu dinar dan dirham karena tidak mendatangkan keuntungan bagi mereka. Berbeda sikap dengan wakaf yang merupakan bagian dari Islam juga, namun langsung diembat karena mashalatnya yang sangat besar untuk keserakahan para pemegang tampuk kepemimpinan.
Sesungguhnya, Islam adalah agama yang sempurna berasal dari Allah Subhanahu Wata'ala yang telah menjamin manusia sejahtera ketika aturan syariahnya direalisasikan dalam kehidupan, tanpa tebang pilih berdasar pada ambisi keuntungan semata. Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam ketika di terapkan secara kaffah maka keberkahan dari langit dan bumi turun menyapa.
Allah Subhanahu Wata'ala berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah engkau ke dalam Islam secara keseruruhan..” (Qs. Al-Baqarah : 208)
Wallahualam bi'showwab.
Tags
Opini