Oleh : Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)
PP Muhammadiyah mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas Pasar Muamalah yang menggunakan dinar dan dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, KH Anwar Abbas, membandingkanya dengan banyaknya penggunaan uang asing termasuk dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali.
Tapi KH Anwar Abbas menilai, transaksi di Pasar Muamalah Depok, tidak menggunakan mata uang asing. Dinar dan dirham yang digunakan, menurutnya bukan mata uang resmi negara asing, melainkan koin dari emas dan perak yang dibeli dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam) atau dari pihak lainnya.
" saya rasa kalau transaksi barter dan atau kita bertransaksi dengan mempergunakan voucher dan koin tersebut, kan tidak ada masalah. Lalu pertanyaannya mengapa pelaku yang ada di Pasar Muamalah Depok itu ditangkap oleh Polisi? Apa dasarnya?" ujar KH Anwar Abbas.
Menurutnya aspek hukum persoalan ini dia tidak memahami. Tapi yang pasti Ketua PP Muhammadiyah itu penggunaan dinar dan dirham di Pasar Muamalah tidak masuk ke dalam kategori mempergunakan mata uang asing.
( kumparan bisnis, 5/2/2021 )
Namun pada perkembangannya, kasus ini lebih tampak sebagai bentuk kriminalisasi terhadap istilah-istilah syar’i. Terlebih, dinar dan dirham adalah istilah yang sangat khas. Yakni khas sebagai mata uang dari sistem ekonomi Islam dan keberadaannya tercantum dalam dalil-dalil syariat.
Sistem ekonomi Islam ini adalah sistem ekonomi yang hanya bisa diterapkan jika sistem pemerintahan yang berlaku juga berasal dari Islam. Yang tak lain adalah sistem Khilafah Islamiah.
Jadi, dengan kemunculan istilah dinar dan dirham di tengah ghirah masyarakat muslim Indonesia yang sebenarnya mulai berayun ke arah aturan Islam kafah. Kendati masih level individu, pemidanaan kasus ini tampak kental dengan nuansa politik sekuler. Namun tentu saja, hendak menjauhkan umat dari istilah-istilah syar’i yang bersumber dari dalil-dalil syariat.
Allah Swt berfirman, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'.an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS an-Nisaa [4]: 59).
Demikianlah semestinya istilah syar’i beserta segala definisinya diambil. Yaitu dari sumber hukum syariat, Al-Qur.'an dan Sunah, dan dalil-dalil syariat (Al-Qur'.an, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas). Jadi, memang tak boleh sembarangan mengambil istilah syar’i.
Dalam sistem sekuler yang tak mengenal halal dan haram, pendefinisian istilah syar’i dipastikan mengandung pemahaman “serba boleh”. Mereka mendefinisikannya sesuai akal mereka.
Inilah mengapa mereka mengambil istilah-istilah seperti wakaf dan ekonomi Islam, menurut penafsiran mereka sendiri, tanpa mengaitkannya dengan sumber hukum dan dalil syariat, termasuk soal dinar-dirham ini.
Sebagai istilah khas ekonomi yang dilahirkan dari ideologi Islam, dinar dan dirham adalah istilah yang “mengancam” ekonomi kapitalisme.
Andai dinar-dirham dikenal luas sebagai alat pembayaran sesuai syariat, maka riba sebagai sumber kemaslahatan ekonomi kapitalisme pasti akan segera tercungkil dari pemahaman umat tentang sistem ekonomi yang ada di tengah kehidupan mereka, karena riba adalah haram.
Lihat saja, betapa tak sedikit para mantan bankir yang hijrah menuju sistem ekonomi Islam dan turut mengharamkan riba. Tidakkah ini berbahaya bagi ideologi kapitalisme?
Maka, ketika sesuatu yang hak dalam hal ini dinar dan dirham menjadi istilah yang mulai dikenal umat, pasti rezim sekuler akan berupaya sekuat tenaga untuk memberinya citra negatif, alias dikriminalisasi. Setelah isu jilbab di SMK N 2 Padang tadi, kini beralih ke kasus dinar-dirham.
Kecuali mendatangkan maslahat ekonomi (profit) bagi rezim, seperti wakaf, zakat, bank syariah, sukuk, maupun dana haji, maka jangan harap istilah syar’i akan diberi panggung positif. Yang ada, istilah yang bersangkutan akan makin diserang.
Lihat saja istilah khilafah, jihad, jilbab, khimar, hingga poligami, selalu diposisikan sebagai pesakitan yang seolah-olah mengancam hak asasi manusia (HAM).
Satu hal yang pasti, hal ini akan terus berlanjut dalam bentuk upaya lain untuk semakin menjauhkan umat Islam dari istilah-istilah syar’i. Menilik rekam jejaknya, rezim tampaknya juga takkan segan menyesatkan setiap istilah syar’i agar sesuai dengan keinginan mereka, meski istilah itu kemudian sangat jauh berbeda dari hakikat syar’i-nya.
Demikianlah, semakin tampak, penguasa saat ini adalah penguasa anti-Islam. Na’udzu billahi min dzalik.
Wallahu a'lam bishawab