Oleh: Halida Hanum
(aktivis muslimah peduli umat)
“Banyak tikus di rumahku. Gara-gara kamu malas bersih-bersih.” Sepenggal lagu lama yang pas untuk menggambarkan kondisi negara kita, Indonesia. “negara” yang banyak bersarang tikus berdasi. Perilaku korupsi kian menggurita. Seolah sudah membudaya.
Kurnia ramadhana bahkan menyoroti KPK dalam menangani kasus korupsi bansos yang menjerat juliari batu bara.
Korupsi yang dilakukan juliari dan kroninya adalah korupsi yang paling keji dan harusnya menggerakkan KPK untuk menindaklanjuti kasus ini.
Setelah Edhy Prabowo dicokok KPK, kini giliran Juliari P.Batubara yang digelandang KPK dengan dugaan korupsi atas pengadaan dan penyaluran bantuan sosial penanggulangan Covid-19 senilai Rp17 miliar.
Komisi pemberantasan KPK memanggil staf PT tiga pilar Agro Utama, Imanuel Tarigan pada Senin 4 Januari 2021, Imanuel dipanggil sebagai saksi dalam kasus suap bansos yang tersangkany adalah merupakan mantan menteri sosial juliari batu bara.pangilan tersebut untuk melengkapi berkas penyelidikan menteri sosial tersebut.
Kasus suap ini diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako untuk warga miskin dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan dua periode. Perusahaan rekanan yang jadi vendor pengadaan bansos diduga menyuap pejabat Kementerian Sosial lewat skema fee Rp 10.000 dari setiap paket sembako yang nilainya Rp300.000. (Kompascom, 7/12/2020)
Lembaga pemerintahan menjadi sarang tikus berdasi. Bagaimana membasmi sarang tikus berdasi ini hingga ke akarnya? Layakkah para koruptor itu diganjar hukuman mati?
Pro Kontra Hukuman Mati Korupsi Bansos
Hukuman mati masih dipandang sebagai hukuman yang paling manjur untuk membuat jera pelaku kriminal. Hukuman mati dianggap memiliki rasa keadilan tinggi bagi mereka yang tidak kapok berbuat kejahatan. Tak terkecuali hukuman mati bagi pelaku korupsi.
Hukuman mati untuk korupsi bansos mencuat di jagat media sosial setelah Juliari menjadi tersangka. Warganet menagih janji ketua KPK, Firli Bahuri, yang saat itu sesumbar akan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dana pandemi,
Hukuman mati sejatinya sudah beberapa kali diwacanakan. Hanya saja, masih banyak pro kontra yang terjadi. Sehingga sampai detik ini belum ada pelaku korupsi yang diganjar dengan hukuman mati.
Dilansir dari BBC Indonesia (8/12/2020), peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut hukuman mati terbukti tidak menimbulkan efek jera. Kurnia berkata, negara yang menerapkan hukuman mati meraih skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya. Contoh yang dia sebut adalah Cina dan Iran, yang peringkatnya bahkan berada di bawah Indonesia.
Menurut pihak yang kontra, kejahatan tidak akan bisa diselesaikan dengan vonis mati. Hal itu merujuk pada data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang dianggap paling berhasil menekan angka korupsi nyatanya tidak sama sekali memberlakukan pidana mati. Tiga di antaranya Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.
Jika hukuman mati tidak memberi efek jera bagi pelaku, jenis hukuman apa yang pantas bagi para koruptor Dipenjara seringkali ganjarannya tak sepadan dengan jumlah uang yang dikorupsi. Malah berleha-leha di sel penjara mewah. Dirampas atau disita asetnya, kekayaan mereka tidak berkurang banyak. Adakah rampasan aset itu membuat koruptor itu jatuh miskin?
Ada yang mengatakan, penegakan hukum tidak cukup, perlu perbaikan sistem dan pengawasan kinerja. Bagaimana mau memperbaiki sistem sementara sistem demokrasilah yang membuat para ‘tikus berdasi’ itu bersarang? Bagaimana mau melakukan pengawasan sementara hampir semua lembaga pemerintahan demokrasi memang berpotensi menjadi sarang korupsi?
Dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif hampir semuanya pernah melakukan perbuatan keji tersebut. Bagaimana sistem demokrasi memberi pengawasan di lembaga sumber korupsi?
Dalam UU Tipikor pasal 2 ayat 2 terdapat aturan tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Sayangnya, aturan itu sebatas narasi formalitas belaka. Belum pernah ada realisasinya.
Politik Demokrasi membawa sengsara. Kerakusan menimbulkan malapetaka. Keserakahan ketamakan hanya akan menghancurkan dirinya. Tamak dan rakus adalah sifat bawaan dalam sistem politik demokrasi. Tak merasa puas dengan gaji yang tinggi, sampai uang rakyat pun diembat untuk kepentingan pribadi.
Ternyata Diketahui, gaji Juliari cukup tinggi. Ia mendapat gaji pokok sebesar Rp5.040.000 per bulan. Pejabat setingkat menteri juga mendapat tunjangan jabatan sebesar Rp13.608.000 per bulan. Bila ditotal dengan gaji pokoknya, besaran gaji yang diperolah pejabat menteri sebesar Rp 18,64 juta per bulan. Selain itu, mereka juga mendapat fasilitas lain dari negara seperti jaminan kesehatan, mobil dinas, pengawalan VIP, dan rumah dinas.
Belum lagi kekayaan pribadi dari Juliari misalnya. Ia memiliki kekayaan senilai Rp 48 miliar. Pendidikan politik demokrasi pada dasarnya memang mengajarkan sifat rakus. Sudah banyak harta, masih saja merasa kurang.
Proyek-proyek nasional, pembangunan infrastruktur, pendanaan penanggulangan bencana kesempatan mereka mencicipi uang negara. Sistem demokrasi yang meminggirkan agama dalam kehidupan. demokrasi dan kapitalisme menghasilkan individu kapitalistik. Sistem sekuler yang membentuk pemimpin dan pejabat bertakwa mimpi!!
Justru melahirkan pemimpin khianat dan zalim. Inilah bukti betapa keroposnya sistem pemerintahan demokrasi.
Khilafah Membasmi pelaku Korupsi
Tidak seperti dalam demokrasi yang cacat di segala aspek, sistem pemerintahan khilafah memiliki cara yang luar biasa untuk menangkal dan membasmi korupsi. Khilafah menyiapkan langkah pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terdeteksi melakukan korupsi. Diantara pencegahan tersebut, khilafah akan membuat langkah yaitu:
Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah akan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah senantiasa merasa diawasi oleh Allah. Suasana amar makruf nahi mungkar serta saling mengingatkan akan tercipta di lingkungan keluarga dan masyarakat. Masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan.
Dilandasi dengan sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia berkepribadian Islam. Didorong lingkungan keluarga yang memahami syariat, maka terciptalah keharmonisan mendidik generasi. Suasana seperti ini tidak akan terwujud dalam kehidupan sekuler.
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Dengan begitu, pemberian gaji yang cukup bisa memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)
Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad).
Keempat, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Maka Cara ini untuk mencegah korupsi.
Jika pejabat negara masih saja melakukan korupsi, maka penindakan hukum Islam akan diberlakukan. Yaitu, hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat.
Dalam Islam, korupsi termasuk hukuman ta’zir. Bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keadilan ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum yang diterapkan adalah syariat Islam. Bukan hukum demokrasi buatan manusia yang ada kepentingan.
Itulah cara negara Khilafah membasmi korupsi. Masih maukah kita tetap bertahan memakai sistem demokrasi yang menjadi sarang korupsi atau mencoba cara Khilafah dalam memberantas korupsi sampai akarnya? Wallahu 'alam bis showwab
Tags
Opini