Cara Mengatasi Banjir, Islam vs Kapitalisme




Oleh : Eri


Banjir yang terjadi di awal tahun telah menyisakan penderitaan bagi masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang kehilangan harta benda bahkan nyawa. Bukan hanya di pulau Jawa tetapi banjir juga terjadi di luar pulau, yang seluruh wilayah Indonesia terancam banjir.

Cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi diprediksi akan berlangsung selama beberapa hari ke depan. Kondisi bisa lebih parah, mengingat puncak musim hujan diperkirakan pada rentang Februari sampai Maret. Masyarakat pun diminta untuk waspada dengan potensi dampak banjir atau banjir bandang.

Seperti diketahui, sebelumnya BMKG selalu mengingatkan bahwa pada bulan Februari 2021 sebagian wilayah Indonesia diprediksi masih berada pada puncak musim hujan, sehingga masih berpeluang mendapatkan curah hujan tinggi dan cuaca ekstrem lainnya. "Dari pengamatan BMKG walaupun curah hujan berada pada tingkat sedang, namun masih berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi. Hal ini tergantung pada daya dukung lingkungan dalam merespon kondisi curah hujan," kata Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi. (kompas.com 9/2/21)

Ironisnya, sederet bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan banjir bandang setiap tahun meningkat. 'Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak awal tahun 2021 hingga Selasa (09/02), tercatat 386 bencana terjadi di Indonesia yang didominasi oleh bencana banjir sebanyak 232 kejadian dan puting beliung serta tanah longsor masing-masing 73 dan 62 kejadian'. (bbc.com 11/2/21)

Namun sayang, pemerintah melihat tren bencana hidrometeorologi hanya disebabkan oleh anomali cuaca. Tentu pernyataan tersebut menuai hujan kritik dari masyarakat dan pakar. Cuaca ekstrem tidak bisa dijadikan faktor tunggal atas bencana alam yang terjadi saat ini.  Lantas, apa yang menyebabkan bencana datang silih berganti?

Menurut riset para ahli baik dari Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) atau para pakar penelitian Universitas menyebutkan beberapa faktor sebab banjir. Adanya alih fungsi lahan, hilangnya Daerah Aliran Sungai (DAS), buruknya sistem drainase dan  tata kelola kota yang semakin memperparah keadaan.

Ironis, permasalahan banjir yang sering terjadi pemerintah hanya mengambil  strategi yang menitikberatkan pada mitigasi, alih-alih menuntaskan akar masalah. Intensitas hujan yang tinggi dan sedikitnya daya tampung menjadi sebab banjir yang selalu dikemukan. Sehingga, pemerintah fokus pada pembangunan fisik untuk menanggulangi bencana banjir. 

Solusi yang selalu dikebut kala banjir datang seperti perbaikan dan pembangunan sejumlah infrastruktur air, di antaranya perbaikan tanggul yang jebol, pembangunan saluran air, penyebaran pompa-pompa air hingga pembangunan bendungan yang diharapkan mampu menekan potensi banjir.

Upaya mengatasi banjir baik pemerintah pusat maupun daerah tidak jauh berbeda. Seperti halnya pemerintah Semarang memakai pompa guna mengurangi genangan air. “Di beberapa lokasi tadi sudah mulai surut airnya, namun beberapa genangan masih ada dan langkah- langkah untuk mengurangi genangan dengan menggunakan pompa pengendali banjir masih harus dioptimalkan,” lanjut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (republika.co.id 10/2/21)

Carut marut menangani bencana juga terlihat saat evakuasi korban. Tempat pengungsian yang tidak layak dan terlambatnya logistik bahan makanan sering terjadi. Tak jarang, bantuan makanan datang dari swadaya masyarakat sekitar. Nampak buruknya pemerintah menangani bencana alam. Ketidaksiapan pemerintah terlihat dari lambatnya memberikan bantuan bagi korban bencana. 

Banjir yang melanda negeri ini tidak cukup diselesaikan dengan cara pragmatis. Butuh sistem dan solusi tuntas serta menyelesaikan permasalahan dari akarnya. Tentu saja sistem Islam mempunyai kebijakan komprehensif dan efisien. Dimana kebijakan tersebut meliputi pencegahan, saat terjadi bencana dan setelah bencana. 

Kasus banjir yang disebabkan keterbatasan daya tampung air, maka pemerintah berbasis Islam akan membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung aliran sungai, curah hujan dan lainnya. Bahkan bendungan yang dibangun pada masa peradaban Islam masih berfungsi sampai sekarang.

Salah satu bukti bendungan Qusaybah yang terletak dekat Madinah memiliki kedalaman sekitar 30 meter dan panjang mencapai 205 meter. Bendungan itu dibangun di era keemasan Islam untuk mengatasi banjir. Ada juga di Iran berhasil membangun bendungan Kebar pada abad ke-13 M. Inilah salah satu bendungan tua peninggalan kejayaan Islam yang hingga kini masih tetap ada. Selain untuk mengatasi banjir, pada masa itu bendungan dibangun untuk mengairi areal persawahan dan perkebunan.

Sistem Islam akan memperhatikan tata kelola kota setiap daerah atau wilayah. Melarang adanya pembangunan fisik di daerah rendah berpotensi menimbulkan genangan air akibat rob atau resapan tanah yang minim. Membangun sumur-sumur untuk resapan dan tandon air dikala musim kemarau. Sangat penting membangun sungai buatan, kanal atau saluran drainase untuk memecahkan penumpukan air. Pemerintah beserta masyarakat bekerja sama merawat dan menjaga kebersihan secara berkala terhadap tempat-tempat penampungan air.

Sering kali, alih fungsi tanah terjadi karena undang-undang berpihak kepada kepentingan para kapital. Sedangkan Islam, dengan tegas melarang daerah resapan air beralih menjadi kawasan permukiman atau indsutri. Undang-undang akan melindungi cagar alam dari kerusakan ekosistem dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku yang melanggarnya. 

Pemerintah harus cepat tanggap menangani para korban bencana. Menyediakan tempat-tempat penampungan layak, menyediakan bahan makanan yang bergizi, pakaian dan tenaga medis yang memadai. Bila pemukiman warga yang terkena bencana tidak layak tinggal karena struktur tanah rendah, sudah seharusnya warga dievakuasi ke daerah lain yang lebih aman dan memberikan kompensasi atau ganti rugi.

Inilah istem pemerintah berbasis Islam yang mengutamakan kemaslahatan umat. Bahwasanya pembangunan fisik harus mengedepankan prinsip-prinsip keseimbangan alam. Serta Menjaga kelestarian alam untuk keberlangsungan hidup manusia. Sangat berbeda dengan sistem Kapitalisme yang berprinsip manfaat. Tega merusak lingkungan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Berujung pada kerusakan alam yang membawa bencana bagi umat.
 
Sudah saatnya umat meninggalkan Kapitalisme dan beralih kepada sistem pemerintahan yang berbasis Islam yang mampu memecahkan problematika secara komprehensif. Sistem yang menerapkan syari'at secara kaffah.

Waallahu a'lam bis shawwab.


*(Pemerhati Masyarakat)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak