Benarkah RUU-PKS Solusi Atasi Kekerasan Terhadap Perempuan?


sumber: google


RUU PKS kembali bergulir. Rencananya RUU ini akan masuk Prolegnas tahun 2021. Terkait hal ini Komnas perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan semakin kompleks dan meluas serta tidak tertangani dan terlindungi. Sehingga disahkannya RUU ini mendesak untuk diprioritaskan.

Data menunjukkan, sepanjang 2016-2018 terjadi 17.088 kasus kekerasan sebanyak 42%-nya adalah kekerasan seksual dan 52% dari kekerasan seksual tersebut adalah tindak perkosaan. Apa kabar tahun ini? Melihat tren tiap tahunnya, bukan mustahil lebih meningkat lagi.

Menyikapi hal tersebut, para feminis menempatkan ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama kekerasan terhadap perempuan. Mereka mengatakan ada konstruksi seksualitas di masyarakat yang mewajarkan laki-laki bersikap agresif terhadap perempuan, sehingga permisif terhadap kekerasan seksual.

Perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan. Bahkan ada fenomena yang melarang perempuan keluar rumah, berpakaian terbuka dan sebagainya.

Padahal pihak laki laki pun berkewajiban mengontrol auratnya, menahan diri dan tidak berfikir kotor. Jika ada kasus kekerasan terhadap perempuan , bukan perempuan yang mesti disalahkan, tetapi pelakulah yang harus dihukum dengan seberat-beratnya.

Cara berpikir seperti di atas, menunjukkan kekacauan berpikir dan kesembronoan mereka. Sebab ada kontradiksi yang sangat jelas antara tuntutan adanya UU yang melindungi perempuan dan tuntutan untuk “membebaskan” perempuan. Ada kontradiksi antara himbauan untuk menghormati perempuan dan pembiaran terhadap perkembangan industri iklan,bisnis dan hiburan yang mengeksploitasi perempuan.

Termasuk pembiaran terhadap peredaran minuman keras, penyalahgunaan narkoba dan hiburan porno yang sedikit banyak jadi faktor yang bisa memicu terjadinya tindak pelecehan terhadap perempuan.

Kontradiksi inilah yang menjadi ciri khas idelogi kapitalis liberal. Ideologi ini menyanjung nilai-nilai kebebasan individu dan mengabaikan akibat buruk pada masyarakat. Kebutuhan individu manapun mesti dipenuhi selama mereka menginginkannya. Tidak peduli apakah keinginan itu benar atau salah. Kapitalisme menganggap bahwa unsur masyarakat hanya individu saja. Mereka menafikan aturan, pemikiran dan perasaan yang dibentuk oleh aturan tersebut. Fokusnya pada kepentingan individu dan mewujudkan semua kebutuhannya. Aturan dibuat ketika muncul pergesakan atau konflik diantara kepentingan individu-individu tersebut. Sebab itu, aturan dari ideologi kapitalisme bersifat tak lebih semacam “pemadam kebakaran” dan tambal sulam.

Karena itu penanganan KTP tanpa kembali pada persoalan dasar manusia tentu tidak akan menemukan titik terang yang menunjukkan solusi. Keyakinan feminis bahwa KTP dapat diselesaikan dengan legislasi RUU Penghapusan Kekerasan ( RUU PKS), namun tidak mempersoalkan bercokolnya ideologi kapitalis yang mendewakan kebebasan individu dan merendahkan martabat perempuan, adalah kesia-siaan. Sebab di satu sisi mereka minta perempuan di merdekakan dengan tidak diikat nilai atau aturan yang mengekang, apakah itu agama atau budaya. Di sisi lain mereka tidak bisa menolak doktrin kapitalisme yang mewajibkan pemenuhan kepentingan individu, apa dan siapa pun itu. Mereka tidak memahami bahwa berbagai persoalan yang menimpa perempuan sesungguhnya lahir dari ide kebebasan ini.

Penanganan yang sungguh-sungguh atas kasus KTP memerlukan sistem pemerintahan yang menjamin perwujudan perlindungan terhadap perempuan sebagai pilar utama di setiap level kebijakan.

Bandingkan dengan Islam. Islam concern terhadap kesejahteraaan perempuan. Yaitu dengan membebeskan dari urusan finansial artinya ada yang menanggung nafkah perempuan sekaligus ada jaminan dari negara. Bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja. Tetapi kiprahnya dilindungi secara aman dan nyaman oleh negara yang mengadopsi syariah dengan kaffah. Bukan semata mata mengejar materi sehingga melupakan kodratnya sebagai perempuan.

Hanya Islam yang memiliki nilai nilai yang benar benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan. Sehingga jaminan ini bisa didapatkan dengan adanya negara yang menjadikan syariat islam sebagai sumber aturan. Sehingga perempuan merasa terlindungi oleh negara baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Kekerasan terhadap perempuan pun dapat diminimalkan. Wallahua'lam

Dessy WL (Relawan Opini)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak