Bancakan Dana Bansos, Bukti Level Sistemis




Oleh Maya Dhita


Sempat menjadi salah satu trending topik pada Kamis, 21 Januari 2021 di jagat Twitter, tagar madam bansos. Warganet penasaran dan mulai berspekulasi dengan berbagai argumen tentang siapa sebenarnya madam bansos. Bahkan, Plt Jubir Bidang Penindakan KPK Ali Fikri ikut menanggapinya dan mengatakan, pihaknya bakal mendalami hal ini.

KPK telah menetapkan lima orang tersangka. Sebagai pihak terduga penerima, yakni Juliari serta dua pejabat PPK Kemensos Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Sebagai pihak terduga pemberi, Ardian Iskandar Maddanatja dan Harry Sidabuke yang merupakan pihak swasta. (www.idntimes.com, 21/1/2021)

Tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi di negeri ini bukan lagi perkara orang per orang. Tetapi, sudah menjangkit secara sistemis. Terstruktur dan melibatkan banyak kepentingan.

Politik demokrasi yang berbiaya tinggi membuat para politisi menyambut uluran tangan korporasi. Dana partai tak cukup untuk melenggangkan kekuasaan. Butuh suntikan dana besar untuk mendapat jatah kursi lebih banyak.

Faktor balas budi dan harus tau diri menjadi alasan yang tidak bisa dinafikan. Tidak ada makan siang gratis. Para cukong meminta jalannya dimuluskan agar bisnisnya semakin meraksasa. Mulai dari bagi-bagi proyek hingga kebijakan absurb yang diurgensikan.Hukum dan kebijakan menjadi ajang permainan kekuasaan.

Dari sini muncul pemimpin-pemimpin yang tega makan uang rakyat. Yang tidak peduli rakyatnya sengsara. Bahkan memotong dana bantuan sosial untuk dijadikan bancakan (dimakan ramai-ramai). Bagi-bagi uang panas diantara petinggi terkait agar bisa saling menutupi aib.

Hal ini yang menyebabkan korupsi semakin merajalela bahkan menjadi hal yang dimaklumkan. Adanya laporan pertanggungjawaban keuangan yang dimark-up sedemikian rupa. Pembagian uang panas agar bisa dinikmati oleh seluruh pihak terkait, mampu meredam kontroversi praktik haram ini.

Dalam demokrasi kapitalis semua dinilai dengan materi. Kebahagiaan adalah dengan memiliki materi yang berlimpah. Hidup adalah bagaimana caranya agar bisa berkuasa dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Hal inilah yang menyuburkan praktik korupsi di negeri ini.

Islam merupakan agama yang paling sempurna. Pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam akan jauh dari korupsi. Sangsi bagi pelaku korupsi akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan orang lain. Hukuman ini bersifat tegas dan mengikat pelaku yang terbukti melakukan tindak korupsi.

Dalam syariat Islam, korupsi adalah salah satu jenis khianat. Pelaku korupsi mengambil harta yang sudah diamanatkan kepadanya. Karena itu hukuman yang diberikan bukanlah potong tangan. Takjir merupakan sangsi yang diberikan bagi pelaku korupsi.

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda, tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).

Untuk mengatasi masalah korupsi yang telah mengakar dan sistemis diperlukan perubahan mendasar dari segi idelogi. Hanya syariat Islam yang mampu menjadi solusi tunggal dalam mengatasi permasalahan korupsi di seluruh dunia. Dengan diterapkan syariah Islam maka nantinya akan dilakukan tindakan pencegahan maupun penindakan untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara mengangkat pegawai yang berkompeten di bidangnya secara profesional. Tidak diperbolehkan melakukan penerimaan pegawai berdasarkan koneksi atau nepotisme. Pegawai harus memiliki kapabilitas dan berkepribadian Islam.

Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Baik dari segi keilmuan maupun peningkatan syaksiyah Islamiyah. Selain itu negara akan memberikan gaji dan kehidupan yang layak bagi para aparatnya.

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, "Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Islam melarang para pegawai atau aparat menerima hadiah atau gratifikasi. Tidak boleh ada uang yang diterima selain gaji mereka. Nabi SAW berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Dalam Islam juga diberlakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara saat awal menerima amanah dan di akhir masa jabatannya. Hal ini dimaksudkan sebagai pengawasan ada tidaknya penggelembungan kekayaan saat menjabat sebagai aparat negara.

Pengawasan juga dilakukan oleh masyarakat. Saat aparat melakukan atau mengeluarkan kebijakan yang menyalahi kemaslahatan, maka rakyat berhak mengingatkannya.

Sedangkan untuk menindak seorang koruptor maka takjir akan dijatuhkan sesuai kadar kejahatan yang dilakukan. Yang menentukan hal ini adalah hakim. Hakim akan memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Mulai dari nasehat sebagai hukuman paling ringan hingga yang terberat adalah hukuman mati.

Begitulah Islam dan aturannya yang adil. Dengan diterapkannya syariat Islam, maka sangat mungkin praktik korupsi akan hilang dari muka bumi.

Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak