(Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Media sosial kini tengah dipenuhi curahan hati netizen terkait
paradoks yang ditimbulkan orang nomor 1 di Indonesia, siapa lagi kalau bukan
Presiden Jokowi. Lagi dan lagi pernyataan yang dilontarkannya menuai kontroversi.
Sebagaimana diberitakan oleh CNN Indonesia (10/2/2021) Presiden
Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh
elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik. Senada
dengan itu, TEMPO.CO (8/2/2021) juga menerbitkan satu artikel bertajuk “Jokowi
Minta Masyarakat Lebih Aktif Mengkritik dan Memberi Masukan”.
Bukan warganet negeri +62 namanya jika luput dari plesetan atas
pernyataan ini. Ada yang mengartikan kritik dan masukan itu maksudnya kritik
pemerintah dan masukan bagi penjara. Adapula yang mengatakan kebebasan
berpendapat dan mengkritik pemerintah memang dijamin. Namun, kebebasan setelah
berpendapat itulah yang menyisakan tanda tanya besar. Begitulah keluh kesah netizen
bertebaran di dunia maya.
Respon yang demikian itu memang wajar. Faktanya bukan sekali dua
kali, kasus orang mengkritik pemerintah yang mendapati ujung panggilan dan penangkapan.
Tidak lain tersebab jeratan UU ITE. UU karet yang nampaknya menjadi alat gebuk
rezim pada siapa saja yang berseberangan.
Perihal kritik dan antikritik ini agaknya menggelitik nurani
publik, jika bukan suara rakyat, lantas suara siapa yang mereka (penguasa)
dengar? Bagi sesiapa yang jeli atas setiap geliat negeri ini, tentu layaknya
sebuah pertanyaan retoris. Sudah barang pasti, sebuah negeri yang dibangun atas
dasar sistem demokrasi-kapitalis memasang telinga lebar-lebar hanya pada mereka
yang berduit.
Adalah menjadi rahasia umum bahwa menjadi penguasa di negeri
demokrasi tidaklah gratis. Dibutuhkan biaya menggunung bahkan hanya untuk
mendapat gelar “calon” di depan namanya. Siapa lagi yang mampu mengeluarkan
biaya ini kalau bukan mereka yang memiliki uang, para kapitalis alias pemilik
modal?
Dengan demikian, simbiosis mutualisme akan terbangun antara penguasa
dan pemodal. Penguasa akan mendapat modal untuk duduk di kursi impian. Sedang pemodal
akan sangat diuntungkan dengan regulasi-regulasi yang semakin mempermudah
mereka dalam mengeksploitasi Sumber Daya Alam.
Harusnya, peristiwa ini semakin membuka lebar mata kita. Bahwa
duduknya mereka yang sebelumnya senantiasa menebar janji manis, ujungnya selalu
berakhir dengan tragis. Rakyat semakin tak berdaya, sekadar kritik pun berujung
penjara. Masih tak patutkah yang demikiran itu disebut sebagai rezim otoriter?
Inilah wajah asli sistem demokrasi-kapitalis. Sistem rusak yang
hanya akan melahirkan penguasa-penguasa diktator. Pembungkam rapat lisan yang
tak sejalan. Kekuasaan tidak lain hanya digunakan sebagai pemuas syahwat akan
harta dan jabatan. Jika hak untuk mengkritik saja tidak diberikan, lantas
masihkah bisa berharap pada kesejahteraan?
Sudah saatnya kita beranjak, beralih kepada sistem yang secara
nyata memuliakan umat manusia. Jauh dari kediktatoran dan demikian dekat dengan
kesejahteraan. Sistem yang melahirkan para pemimpin yang tak hanya berorientasi
dunia tapi juga kehidupan setelahnya. Ialah sistem Islam, sebagaimana yang
tersebut dalam janji-Nya dan bisyarah dari lisan nabi-Nya yang mulia, Muhammad ﷺ. Hadanallahu waiyyakum.