Oleh Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengumumkan bahwa pada tahun 2020 mereka berhasil mengatasi defisit dan mengalami surplus Rp18,7 triliun berdasarkan laporan keuangan belum diaudit (finansial.bisnis, 9/2/2021).
Rekor surplus oleh BPJS kesehatan ini terjadi pertama kali dalam lima tahun terakhir. Pada 2016, BPJS Kesehatan belum defisit, akan tetapi piutang dalam proses bayar mencapai Rp2,41 triliun. Setahun kemudian atau 2017, asuransi kesehatan negara ini membukukan defisit Rp1,01 triliun dan utang klaim yang dalam proses Rp4,72 triliun. Jumlah itu terus membengkak tahun berikutnya dimana defisit mencapai Rp9,16 triliun dan hutang klaim Rp1,47 triliun.
Menanggapi hal ini, anggota komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyatakan kondisi surplus pada tahun anggaran 2020 sebesar Rp 18,7 triliun yang dialami BPJS Kesehatan, seharusnya membuat pemerintah melakukan peninjauan kembali kenaikan tarif. Setelah tahun 2020 iuran BPJS naik, tahun ini pun tarifnya naik lagi. Ternyata kondisi pandemi tak menyurutkan niat pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tersebut berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Sesungguhnya, bila kita cermati UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS akan didapati bahwa BPJS itu merupakan asuransi, bukan jaminan sosial. Keberadaan iuran wajib yang harus dikeluarkan oleh masyarakat setiap bulan menempati posisi premi asuransi. Artinya, masyarakat sendiri yang menanggung biaya kesehatan secara kolektif, bukan negara.
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara dari salah satu program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memosisikan BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik seperti yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 yang bertanggung jawab langsung ke presiden.
Sebagai badan hukum publik, BPJS kesehatan memiliki kewenangan yang luar biasa besar. Seperti menagih iuran, penyusunan dan penyajian laporan keuangan dibuat sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden; serta melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan pemberian sanksi atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya.
Melihat kewenangan yang luar biasa besar ini menunjukkan negara tunduk di bawah korporasi BPJS. Apabila terjadi kondisi defisit BPJS, untuk menutupinya pemerintah saat ini tengah menyiapkan peraturan berupa Instruksi Presiden untuk para penunggak iuran BPJS Kesehatan. Terutama untuk 32 juta kategori peserta mandiri. Sebaliknya, pemerintah tidak pernah meminta pertanggungjawaban kepada BPJS atas kegagalan lembaga asuransi ini dalam mengelola dana layanan kesehatan masyarakat.
Bila benar BPJS merupakan jaminan kesehatan, seharusnya menjamin semua aspek, baik dari pelayanan ataupun pembiayaannya. Pada faktanya membayar iuran termahal sekalipun belum ada jaminan mendapat pelayanan kesehatan maksimal. Banyak kisah betapa rumitnya administrasi demi mendapat layanan kesehatan yang layak. Pelayanan kesehatan yang baik seperti barang langka di sistem kapitalisme.
Dalam kapitalisme, peran negara hanyalah sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis. Karena kesehatan masuk dalam salah satu sektor jasa dalam perjanjian GATS, maka liberalisasi sistem kesehatan sulit dihindari dan ditolak. Akibatnya, negara tak lagi menjadi pemain tunggal sebagai penyelenggara sistem kesehatan untuk rakyat. Konsep inilah yang sebenarnya menjadi penyakit bagi sistem kesehatan saat ini.
Berbeda sekali dengan Islam. Islam memiliki mekanisme yang khas dalam pemenuhan kebutuhan asasi masyarakat. Untuk kebutuhan pokok yang bersifat individual, negara memiliki tanggung jawab menyediakan kemudahan akses masyarakat untuk memperolehnya. Islam memandang kesehatan merupakan hak dasar publik. Maka dari itu, negaralah yang menjadi penyelenggara utama sistem kesehatan. Negara berkewajiban memberikan layanan kesehatan secara gratis tanpa memungutnya dalam bentuk iuran atau premi. Tugas negara adalah melayani, bukan memalaki dengan berbagai dalih. Melayani yang dimaksud adalah pelayanan berkualitas tanpa pamrih. Karena negara adalah pengurus urusan rakyat. Ia bertanggung jawab penuh atas apa yang diurusnya.
Dikisahkan pada masa Rasulullah saw. delapan orang dari Urainah datang ke Madinah menyatakan keislaman dan keimanan mereka. Lalu mereka menderita sakit gangguan limpa. Nabi saw kemudian memerintahkan mereka dirawat di tempat perawatan, yaitu kawasan penggembalaan ternak milik Baitul Mal di Dzi Jidr arah Quba’, tidak jauh dari unta-unta baitulmal yang digembalakan di sana. Mereka meminum susunya dan berada di tempat itu hingga sehat dan pulih.
Raja Mesir, Muqauqis, pernah menghadiahkan seorang dokter kepada Nabi saw. Beliau menjadikan dokter itu untuk melayani seluruh kaum muslim secara gratis. Khalifah Umar bin al-Khaththab, menetapkan pembiayaan bagi para penderita lepra di Syam dari Baitul Maal.
Begitu pula para khalifah sepeninggal Rasulullah saw. juga sangat memahami masalah ini. Khalifah al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah membangun rumah sakit bagi pengobatan para penderita leprosia dan lepra serta kebutaan. Para dokter dan perawat yang merawat mereka digaji dari baitulmal. Bani Thulan di Mesir membangun tempat dan lemari minuman yang di dalamnya disediakan obat-obatan dan berbagai minuman. Di tempat itu ditunjuk dokter untuk melayani pengobatan.
Dalam hadis lain Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan, dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis ini, kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi. Kesehatan bukan barang ekonomi yang memiliki harga, sehingga bisa diperjualbelikan kepada masyarakat. Bahkan, dalam pandangan Islam, negara dilarang menarik harganya kepada masyarakat walau sedikit. Sebab negara dan pemerintah adalah raa’in, pelayan umat penyelenggara urusan publik. Sabda Nabi Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Adapun sumber pendanaan secara penuh diambilkan dari Baitul Maal, bukan dengan pemalakan dana umat maupun asuransi kesehatan. Baitul Mal adalah sumber pemasukan negara, termasuk di dalamnya sektor kesehatan. Salah satu sumber pemasukan Baitulmal adalah harta milik umum berupa tambang, gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, listrik, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, dan lainnya. Pengelolaan harta ini sangat cukup membiayai sistem kesehatan.
Pengelolaan harta ini dapat membiayai seluruh fasilitas dan SDM yang dibutuhkan dalam bidang kesehatan. Seperti pendidikan SDM kesehatan berkualitas, rumah sakit dengan fasilitas lengkap, industri peralatan kedokteran dan obat-obatan, riset biomedis, pusat penelitian dan laboratorium, gaji tenaga kesehatan yang cukup, serta segala sarana dan prasarana yang mendukung penyelenggaraan sistem kesehatan seperti listrik, air, dan transportasi.
Rakyat tidak akan dipersulit dengan syarat dan administrasi berbelit.
Semua layanan itu diberikan secara gratis oleh negara. Pembiayaan ini sifatnya mutlak. Artinya, ada tidaknya pemasukan, negara wajib memberikan pelayanan kesehatan. Jika pemasukan rutin di Baitul Mal tidak terpenuhi, negara akan memberlakukan pajak temporer yang dipungut dari orang-orang kaya saja hingga anggaran yang dibutuhkan mencukupi. Model pembiayaan seperti ini antidefisit dan membebaskan negara dari cengkeraman korporasi dan industrialisasi kesehatan yang membahayakan nyawa banyak orang.
Dari aspek pengelolaan, konsep kendali mutu jaminan kesehatan khilafah berpedoman pada tiga strategi utama, administrasi yang simpel, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh personal yang kapabel. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu.”
Telah jelas bahwa Islam menetapkan jaminan kesehatan menjadi tugas dan tanggung jawab negara. Sehingga menurunkan tarif BPJS bukanlah solusi, apalagi terus mempertahankan BPJS. Ini sama saja melanggengkan kezaliman dan wujud pelanggaran terhadap ketetapan Allah Swt.
Sungguh umat harus beralih ke sistem Islam yang kepemimpinannya memenuhi perintah syariat yakni sebagai raa’in dan junnah dengan aturan syariat yang solutif dan adil. Hal ini hanya dapat diwujudkan melalui satu metode yang baku penerapannya, yakni melalui tegaknya Khilafah Islamiyah ‘ala minhaajin nubuwwah.
Wallahu’alam bish shawab