Oleh : Bunda Kayyisa Al Mahira
Miris, dunia medsos kembali dihebohkan dengan gugatan seorang anak gara-gara harta. Tak tanggung-tanggung anak tersebut menggugat ayahnya senilai Rp3 miliar. Gugatan ini bermula dari tanah seluas 3.000 meter milik orang tua akan dijual, namun anaknya keberatan dan menuntut ganti rugi materiel dan imateriel jika tanah itu dijual (tribunnews.com 27/1/2021). Kasus lain yang terjadi yaitu seorang anak menuntut ibu dan ayahnya yang sudah berpisah, dengan tujuan mendamaikan karena keduanya kisruh terkait harta gono-gini (detiknews.com 21/1/2021)
Kasus anak menuntut orang tua ke ranah hukum ini membuat heran, kaget, dan sedih. Anak yang seharusnya berbakti, memuliakan mengurus dan melindungi orang tuanya, malah mempidanakan orang tua hanya gara-gara masalah harta.
Dalam kehidupan yang menganut sistem sekuler kapitalis seperti saat ini, fenomena anak durhaka menjadi hal biasa dan berpeluang besar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Asas manfaat, mengagungkan materi dan kebebasan yang diusung sistem ini melahirkan generasi materialistik yang liberal, pembangkang, semau sendiri jauh dari nilai-nilai Islam.
Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang datang dari Allah SWT, telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan keluarga. Alquran dan hadis Rasulullah saw telah menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana seharusnya seorang anak bersikap terhadap orang tuanya, diantaranya yaitu:
Pertama, menaati dan menghormati kedua orang tua Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam melakukan maksiat. Sesungguhnya ketaatan hanya dalam melakukan kebajikan.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw. bersabda,
“Mendengar dan taat pada seorang muslim pada apa yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada mendengar dan taat.” (HR Bukhari).
Kedua, merendahkan pandangan dan perkataan di hadapan orang tua. Seorang anak haruslah menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya. Salah satunya dengan menjaga pandangan dan perkataannya di hadapan orang tua. Merendahkan suara, tidak berbicara dengan nada yang tinggi apalagi membentak pada orang tua dan tidak memandang tajam, ini merupakan akhlak mulia. Termasuk di dalamnya adalah tidak memotong pembicaraannya. Allah Ta’ala berfirman dalam QS Al Isra’: 23, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’.”
Selanjutnya Allah berfirman, “Dan katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang. Dan katakanlah, “Wahai Rabb-ku sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu kecil.” (QS Al-Isra: 24)
Ketiga, bersegera memenuhi panggilan mereka. Anak harus segera menjawab panggilan orang tua begitu mendengar suara orang tua memanggilnya. Dalam hal anak sedang melaksanakan salat (salat sunah), ia boleh membatalkan salatnya untuk segera memenuhi panggilannya.
Keempat tidak mencela orang tua dan tidak menyebabkan mereka mendapatkan celaan. Dari Abdullah bin ‘Umar ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya.” Lalu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa mencela kedua orang tuanya.” Beliau bersabda, “Seseorang mencela ayah orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ayahnya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kelima, menafkahi orang tua. Jika orang tua meminta sesuatu kepada kita dan tidak bertentangan dengan Islam, maka berikanlah. Apalagi bagi anak laki-laki—terlebih lagi ia mampu—, maka ketika orang tua kita sudah renta tentu anak-anaknya yang menanggung nafkah bagi mereka.
Keenam, selalu mendoakan dan meminta maaf. Sebagaimana yang telah diajarkan Allah melalui Alquran, “Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS At Taubah: 114)
Ketujuh, menjaga silaturahmi. Seorang anak wajib untuk menyambung silaturahmi dengan orang tua. Dari Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku pernah datang kepadaku dalam keadaan musyrik di masa Quraisy ketika Beliau mengadakan perjanjian (damai) dengan mereka, lalu aku meminta fatwa kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku karena berharap (bertemu) denganku. Bolehkah aku sambung (hubungan) dengan ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya. Sambunglah (hubungan) dengan ibumu.'” (HR Muslim)
Demikianlah, ajaran Islam telah mengatur secara jelas bagaimana seharusnya sikap seorang anak terhadap orang tua sebagaimana yang telah disebutkan dalam Alquran dan hadist di atas. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbakti kepada orang tua. Dimudahkan untuk merawat dan mengurus segala kebutuhan mereka, mengharapkan rida mereka, dan di bawah keridaan orang tua ini maka Allah pun akan rida dan melimpahkan rahmat dan berkahNya. Aamiin.
WalLahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini