Oleh: Cahaya Septi
Pelajar
Pemerintah Indonesia baru-baru ini meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Gerakan ini diklaim merupakan salah satu program pengemban ekonomi syari'ah untuk mendukung percepatan pembangunan nasional.
Seperti dikutip dari laman Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Kamis (28/1), BWI telah menunjuk sejumlah lembaga keuangan syari'ah untuk memudahkan masyarakat menyetorkan dana wakaf uang. Menurut BWI, wakaf uang juga bisa diinvestasikan melalu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk, yang imbalannya disalurkan oleh nazhir (pengelola dana dan kegiatan wakaf) untuk membiayai ekonomi umat.
Namun demikan, rupanya gerakan wakaf ini menimbulkan pro dan kontra. Banyak penolakan dari masyarakat. Terutama karena ketidak percayaan masyarakat pada sikap amanah penguasa di tengah ramainya korupsi Bansos.
Wakaf tunai (waqf an-nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah, yang keuntungan disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh).
Sebenarnya ada perbedaan pendapat (khilafiyah) dikalangan ahli fikih (fuqaha) mengenai hukum wakaf tunai. Pertama, yang mengatakan wakaf tunai tidak sah. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafii dan pendapat yang sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah.
Kedua, yang membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu' al-Fatawa, 31/234) serta satu pendapat (qaul) dikalangan fuquha Hanafiyah dan Hanabilah (Al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-islami wa Adillatuhu,10/298; Al-'Ayyasfi Faddad, Masa'il fi Fiqh al-waqh, hlm. 8-9).
Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Adapun pendapat yang mengatakan uang yang di wakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan penggantinya (badal), yaitu uang yang senilai.
Sayangnya, apa yang dilakukan pemerintah dengan mengambil dana umat melalui wakaf tak sejalan dengan maksud syara'. Yang nampak adalah kecenderungan menerima syari'ah Islam yang bersifat pribadi dan keluarga, juga yang memiliki nilai finansial tertentu (semisal zakat, haji dan wakaf). Sebaliknya pemerintah tidak mau menerima dan cenderung memusuhi syari'ah Islam lainnya, seperti penerapan syari'ah Islan dalam bidang sosial, politik, hukum dan pemerintahan.
Padahal Islam adalah agama yang sempurna. Menerapkan syari'ah Islam secara menyeluruh akan membawa kebaikan karena Islam adalah solusi atas setiap persoalan yang ada. Meninggalkan syari'ah, meski hanya sebagian, tentu akan mengakibatkan kesempitan hidup.
Untuk menghindari sulitnya hidup serta ancaman akherat, kita harus sesegera mungkin berusaha agar penerapan Islam secara totalitas tegak, yakni melalui institusinya yang bernama Khilafah Islamiyyah agar semua berjalan dengan lancar dan damai.
Dengan menerapkan hukum Islam secara kaffah atau keseluruhan, negara akan mengurus umat dengan arahan syariat dalam segala aspeknya.
Umat Islam harus berusaha semaksimal mungkin menyebarluaskan tentang Islam, agar orang-orang dapat memahaminya secara keseluruhan. Jadi seandainya orang-orang telah mengerti Islam secara Kaffah tidak akan ada lagi kasus pengambilan hukum Islam sedikit-sedikit, sebagian atau menolak seluruhnya seperti yang terjadi saat ini di tengah kehidupan umat.
Wallahu a’lam bi ash shawwab
Tags
Opini