Oleh : Syifa Putri
Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah, Kabupaten Bandung
Beberapa minggu terakhir publik dihebohkan dengan beredarnya isu
penangkapan salah satu pegiat pasar muamalah. Menurut pemberitaan, penangkapan
itu disebabkan dalam transaksinya di pasar tersebut tidak digunakan mata uang
rupiah, melainkan jenis logam mulia berupa Dinar (emas) dan Dirham (perak).
Apakah betul dasar penangkapan ini karena transaksi tersebut
bertentangan dengan regulasi yang ada? Ataukah ada muatan politik tertentu?
Jika yang menjadi dasar penangkapan adalah karena penggunaan mata uang selain
rupiah, mengapa di beberapa tempat perlakuan yang sama tidak terjadi? Seperti
kita ketahui, penggunaan mata uang asing terjadi di beberapa wilayah
perbatasan, juga di daerah yang menjadi pusat wisata. Hal itu sudah berlangsung
lama dan tidak ada penindakan. Banyak anggapan negatif terkait tindakan aparat
tersebut yang cenderung diskriminatif.
Sejak Rasulullah saw. sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah
pasca hijrah, beliau menyetujui penggunaan mata uang Dinar-Dirham sebagai mata
uang resmi negara.
Dalam Islam, emas dan perak adalah standar baku dalam bertransaksi.
Artinya, emas dan perak adalah sistem mata uang yang digunakan sebagai alat
tukar.
Dinar dan Dirham memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan
uang kertas fiat money. Pertama: Dinar dan Dirham memenuhi unsur keadilan
dibandingkan fiat money. Pasalnya, Dinar dan Dirham memiliki basis yang riil
berupa emas dan perak. Sebaliknya, fiat money sama sekali tidak dijamin dengan emas dan
perak. Nilai yang tercetak pada uang kertas fiat money tidak akan sama dengan
nilai intrinsiknya. Hal ini memunculkan ketidakadilan. Pasalnya, otoritas
moneter yang menerbitkan mata uang sudah mendapatkan keuntungan yang sangat
besar dari selisih nilai nominal yang tertera dengan nilai intrinsiknya. Sebaliknya, Dinar dan Dirham jelas adil
karena antara angka yang tertera dan nilai intrinsiknya sama.
Kedua: Dinar dan Dirham lebih stabil dan tahan terhadap Inflasi.
Berdasarkan fakta sejarah, emas dan perak merupakan jenis mata uang yang
relatif stabil dibandingkan dengan sistem uang kertas fiat money. Bagaimanapun
kuatnya perekonomian suatu negara, jika sistem penopangnya menggunakan uang
kertas, negara tersebut rentan terhadap krisis dan cenderung tidak stabil.
Bahkan beberapa kejadian yang berkaitan dengan krisis, salah satunya dipicu
karena penggunaan sistem uang kertas fiat money.
Ketiga: Dinar dan Dirham memiliki aspek penerimaan yang tinggi. Termasuk
dalam pertukaran antar mata uang atau dalam perdagangan internasional.
Pasalnya, Dinar dan Dirham tidak memerlukan perlindungan nilai karena nilai
nominalnya benar-benar dijamin penuh oleh emas dan perak.
Banyak pihak juga mengakui keunggulan mata uang yang berbasiskan
emas. Salahsatunya Alan Greenspan, mantan Chairman The Fed, berkata, “Emas
masih menjadi bentuk utama pembayaran di dunia. Dalam kondisi ekstrem, tidak
ada yang mau menerima uang fiat, tetapi emas selalu diterima.”
Cristopher Wood, seorang analis Emerging Market CLSA, juga
mengatakan, “Emas adalah satu-satunya jaminan nyata terhadap ekses-ekses
keuangan massif yang masih dirasakan dunia Barat.” Wood juga mengatakan,
“Ketika nilai tukar Dolar anjlok, harga emas akan terus naik.”
Berdasarkan uraian di atas, sejatinya sebagai seorang Muslim terikat
dengan syariah Islam sebagaimana yang telah Allah SWT perintahkan. Termasuk
dalam penggunaan mata uang Dinar dan Dirham sebagai alat transaksi. Penggunaan
mata uang Dinar dan Dirham sangat jelas basis dalil syariahnya dan fakta
keunggulannya.
Hanya saja, penggunaan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tentu
memerlukan legalitas negara sebagai institusi yang kuat dan berdaulat. Tidak
mungkin semuanya bisa dilaksanakan dengan sempurna kecuali adanya negara yang
berani untuk melawan hegemoni Kapitalisme global. Negara ini harus berani
berhadapan dengan negara-negara besar yang saat ini mendominasi dunia. Ini
semua tentu hanya bisa diwujudkan oleh institusi Daulah Islamiyah yang pernah
dicontohkan oleh Rasul saw., yang kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat beliau
dengan sebutan Khilafah Islamiyah.
WalLahua’lam.