OLEH : HJ PADLIYATI SIREGAR,ST
Krisis pangan telah menjadi momok dunia, tak terkecuali di negeri kita. Padahal, Indonesia dikenal sebagai Negara agraris dengan luasnya lahan pertanian,kedelai pun menjadi barang mahal..
Dilansir dari Republika.co.id 2/1/2021, bahwa sudah dua hari tahu dan tempe sulit ditemukan atau bahkan tidak dijual lagi baik itu di pasar tradisional atau penjual keliling, seperti pasar tradisional di kota Tangerang, Banten. Hal ini terjadi lantaran naiknya bahan baku kedelai. Para perajin tahu di Bogor hingga se Jabodetabek melakukan libur produksi missal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai.
Sekjen Sedulur Pengrajin Tahu Indonesia (SPTI), Musodik mengatakan, sekitar 25 pengrajin tahu di Bogor yang tergabung dalam SPTI juga turut libur produksi. Mereka tersebar di daerah Parung, Jasinga, Cibinong, dan Leuwiliang, Kabupaten Bogor(Republika.co.id, 2/1/2021).
Sekretaris Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Handoko Mulyo mengatakan ketiadaan tahu dan tempe di pasaran merupakan imbas dari bentuk protes terhadap kenaikan harga kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram (kg) (Merdeka.com, 4/1/2021).
Dengan naiknya harga bahan baku tersebut, para perajin tahu merugi karena keuntungan mereka kian berkurang. Bahkan, Musodik mengatakan, 30 persen perajin tahu kelas kecil se-Jabodetabek sudah berhenti produksi karena tidak mendapat banyak keuntungan.
Jika tempe menjadi barang mahal, apa yang tersisa untuk rakyat yang susah mengakses daging atau makanan mewah lainnya? Selain itu, jika terjadi dalam jangka panjang, mahalnya tempe akan berakibat pada problem turunannya. Seperti meningkatnya angka kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, dan sejumlah masalah kesehatan lainnya. Sehingga akan mempengaruhi pemenuhan kualitas gizi keluarga.
Ketiadaan upaya Indonesia untuk swasembada pangan menjadikannya sebagai negara yang bergantung pada impor. Jika harga kedelai impor melambung, maka itu juga berimbas pada kemampuan Indonesia mengimpornya. Hal ini akan berdampak pada stok kedelai nasional. Inilah akibat terlalu bergantung pada komoditas impor. Sementara potensi negeri yang luar biasa ini diabaikan.
Islam Mampu Wujudkan Kemandirian Pangan
Ketahanan sebuah Negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tapi juga bagaimana ketahanan pangannya. Sehingga persoalan kebutuhan rakyat ini menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan. Negara harus hadir dalam masalah ketersedian pangan karena hanya negara yang memiliki kapasitas untuk melakukannnya.
Hakikat dari politik Islam adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw.,
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).
Beberapa kebijakan yang bias diambil:
Pertama, menghentikan segara aktivitas impor. Sehingga Negara terbebas dari penjajahan tanah yang kerap kali terjadi.
Kedua, mewujudkan swasembada dengan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik, karena itu Khilafah menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Biro subsidi (diwan ‘atha) dalam baitulmal akan mampu menjamin keperluan-keperluan para petani menjadi priritas pengeluaran baitulmal.
Para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas seperti modal, peralatan, benih, teknologi, pemasaran, informasi dan lain-lain baik itu secara langsung atau semacam subsidi. Sehingga seluruh lahan yang tersedia akan produktif.
Ekstensifikasi pertanian untuk meningkatkan luasan lahan pertanian, dengan menerapkan kebijakan yang dapat mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian, di mana Negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang didapatkan dengan jalan menghidupkan lahan mati, Negara juga dapat memberikan tanah pertanian yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengelolanya.
Negara tidak akan membiarkan lahan-lahan kosong itu tidak produktif, jika lahan itu dibiarkan selama tiga tahun maka lahan itu akan diambil oleh Negara dan diberikan kepada mereka yang mampu mengelolahnya, sebagaimana Rasulullah Saw. Bersabda, “siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari).
Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, Negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang akibat larangan Islam menimbun barang.
Adapun lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari Kekhilafahan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang seperti optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok; adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan; manajemen logistik; rediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim; mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan.
Demikianlah bagaimana kebijakan sistem Islam dalam masalah ketahanan pangan yang akan mewujudkan kemandirian pangan.
Tags
Opini
Barokallah ustadzah..
BalasHapus