Oleh : Darra KA
How Democracies Die', buku yang sedang viral, namun tahukah isi
utuhnya? Viral karena diviralkan, isinya tidak berbahaya dengan eksistensi
demokrasi yang sekarat menuju kematian. Bahkan ada rekomendasi dari penulis
bukunya bagaimana agar demokrasi tidak mati. Namun, bagi umat Islam lonceng
kematian demokrasi itu begitu nyata. Karena demokrasi sejatinya cacat bawaan
sejak lahir (self distruction). Mengapa demikian?
Sepanjang tahun 2020 sudah banyak yang dilewati umat Islam, dari
suka dan duka terlalu banyak dukanya. Duka yang dipilih oleh keserakahan para
petinggi negeri, karena yang mereka rasakan adalah bahagia di atas penderitaan
rakyat. Awal tahun negeri ini dilanda banjir yang lebih parah dari tahun
sebelumnya. Beberapa bulan kemudian, Allah uji dengan wabah Corona yang hingga
saat ini belum reda. Namun, sebagai muslim harus yakin bahwa apa yang terjadi
pasti atas kehendak-Nya.
Di tengah wabah, DPR ketok palu tentang UU Omnibus Law. Padahal
sejak wacana RUU Ciptaker digulirkan, sudah banyak menuai pro-kontra di
mana-mana. Demo pun tak terelakkan, walau pandemi buruh, mahasiswa dan rakyat
tetap turun ke jalan memperjuangkan aspirasi dan haknya. Sayangnya, itu semua
tak berpengaruh pada berubahnya UU yang sudah disahkan tengah malam itu.
Kini nasib buruh di ujung tanduk, PHK besar-besaan sebelum disahkan
UU Omnibus Law saja sudah terjadi. Bagaimana nasib mereka setelah ini? Belum
lagi krisis dan resesi yang melanda negeri akibat pandemi menambah lengkap
beban penderitaan rakyat. Kebutuhan naik, namun pemasukan tidak ada karena bagi
rakyat yang terdampak tak bisa mencari nafkah seperti biasa. Bantuan dari
pemerintah pun ala kadarnya dan tidak merata.
Bagi yang terkena covid rakyat bawah, dari mana mereka mendapat
uang untuk tes swab yang mahal? Rasanya hidup kian sempit, ke mana lagi mereka
harus mengadu. Kado pahit selalu dialami umat Islam lewat kriminalisasi ajaran
Islam, ulama, aktifis Islam dan penistaan terhadap Nabi ﷺ. UU ITE yang dibuat
hanya untuk menjerat pejuang Islam yang kritis terhadap rezim. Hukum dibuat
tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
Nakes berjibaku menangani korban covid-19, bahkan berguguran lebih
dari seratus. Namun, pejabat masih sempat berfikir untuk korupsi. Di mana ada
celah untuk korupsi, maka dilakukan walau dengan dalih musibah, tak sengaja
atau kecelakaan. Lobster salah satu yang menjadi sasaran lahan basah untuk
dikorupsi. Lebih mengherankan lagi, komodo menjadi komoditas yang dikomersilkan
dan eksploitasi.
Sedemikian rumit dan rusak tata kelola keuangan dalam sistem
demokrasi. Di bidang pendidikan, daring di satu sisi menjadi solusi. Namun, di
sisi lain menimbulkan masalah. Dilema pembelajaran kala pandemi belum berakhir,
bagi yang tinggal di perkotaan mungkin tidak terlalu masalah tapi bagi yang di
pedesaan? Masalah yang muncul, memicu kekerasan pada anak terjadi. Membuat para
orang tua stres terutama para ibu yang mudah terpicu stres.
Bagaimana tidak, beban seakan bertambah dengan kewajiban membimbing
anak selama pandemi. Belum lagi pekerjaan rumah, ditambah suami tidak bekerja
maka tak ada pemasukan. Dari mana mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari,
muncullah fenomena perceraian meningkat saat pandemi. Di bidang sosial, merebak
kasus aborsi yang semakin meningkat. Bisa jadi yang terlihat hanya permukaannya
saja bagai fenomena gunung es.
Ada maksud mengapa Allah menghendaki semua ini, mungkin Allah
hendak menelanjangi aturan demokrasi yang dibuat manusia. Begitu cacat dan
merusak, tak bisa dijadikan solusi. Sayangnya, hal ini difahami hanya bagi
orang yang mau menggunakan akalnya untuk berfikir dan orang-orang yang Allah
kehendaki. Bahwa masalah demi masalah yang ditimbulkan muncul dari aturan yang
manusia buat sendiri (QS. Ar Ruum: 41).
Karena manusia kodratnya diciptakan memiliki kekurangan dan
keterbatasan, maka aturan yang dibuatpun demikian. Lalu, masihkah belum sadar
dengan semua yang terjadi. Pilkada di kala pandemi belum berakhir seakan
dipaksakan, padahal hasil dari pilkada dan pemilu pun tak signifikan.
Pergantian orang tanpa pergantian sistem hanya akan mengulang kesalahan yang
sama dan menambah luka yang ada. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban
keserakahan para pejabat negeri.
Kita sebagai umat Islam, wajib kembali kepada ajaran yang benar
dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu kembali pada Khilafah, bukan pada
demokrasi. Kalau kita mengikuti demokrasi, berarti kita sudah terjerumus ke
dalam dosa sebagaimana sabda Nabi saw. “Sungguh kalian akan mengikuti
jalan-jalan (hidup) umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta, hingga kalau mereka masuk ke lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka
juga. Para Sahabat bertanya, “Apakah mereka orang Yahudi dan Nasran.?”
Rasulullah saw. menjawab,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari dan Muslim).
Fungsi Khilafah: Menegakkan Syariat
Khilafah bukan ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan
ditujukan untuk menerapkan syariat Islam. Khilafah, menurut Taqiyuddin
An-Nabhani (w. 1977), adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di
dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia (ri’asatun ‘aammatun lil muslimina jami’an fi ad-Dunya li iqamati
ahkam asy-Syar`i al-Islami wa haml ad-Dakwah al-Islamiyah ila al-Alam).
(Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Beirut: Darul Ummah,
2003, 2/14).
Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah), menurut Nashir bin Abdul
Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti
As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran
(al-haq), bersatu di bawah para imam (Khalifah) dan tidak keluar dari jemaah
mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan
Praktis Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo: Pustaka Istiqomah, 1992, hal.
16).
Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam
kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa yang
ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu Rasulullah saw.).
Dan disebut wal jamaah, karena mengikuti ijmak sahabat mengenai
keabsahan kekhilafahan empat Khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa
‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-A`immah al-Arba’ah al-Khulafa`
ar-Rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru,
1992, hal. 31).
Dari pengertian Aswaja di atas, jelas sekali bahwa ajaran Khilafah
dengan sendirinya sangat melekat dengan ajaran Aswaja. Sebab Khilafah sangat
terkait dengan istilah wal jamaah. Jadi, jemaah di sini maksudnya adalah kaum
muslimin yang hidup di bawah kepemimpinan Khalifah dalam negara Khilafah.
Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisahkan dengan
Aswaja.
Kesatuan Aswaja dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi,
jika kita menelaah kitab-kitab yang membahas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dalam kitab-kitab akidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah.
Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung: Pustaka, 1988), karya Imam
Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat pasal yang
menegaskan kewajiban mengangkat imam (khalifah) (pasal 61-62). Dalam kitab
Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H)
menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah
(Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-Imaamah fardhun ‘ala al-Ummah”
(sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir
Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005,
hal. 270).
Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya
Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,”Mengangkat Imam
[khalifah] adalah wajib atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan
oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis
Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.
Selain dalam kitab-kitab akidah seperti dicontohkan di atas, dalam
kitab-kitab tafsir, hadis, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahwa
Khilafah memang kewajiban syar’i menurut paham Aswaja.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,”Tidak
ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di antara
umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang memang asham
(tuli) dari syariat (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-Ummah wa laa
baina al-Aimmah illa maa ruwiya ‘an al-Asham haitsu kaana ‘an asy-Syariat
asham…).
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,”Ulama sepakat
bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang Khalifah.” (ajma’uu ‘alaa
annahu yajibu ‘ala al-Muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam
As-Sulthoniyah hal. 5 berkata, “Mengadakan akad Imamah bagi orang yang
melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijmak.” (aqdul imamah
liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Jelaslah, bahwa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Aswaja
dalam berkehidupan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut
Aswaja. Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib kalau ada individu atau
kelompok yang mengklaim penganut Aswaja, tapi mengingkari atau bahkan mencemooh
Khilafah.
Pengingkaran penganut Aswaja terhadap Khilafah adalah batil, karena
tindakan itu sesungguhnya adalah upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah. Ini
jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran
Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Jadi, Khilafah itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan
sekedar metode (thariqah) untuk menerapkan hukum-hukum syariat Islam dalam
segala aspeknya di dalam negeri. Syariat Islam itulah yang nantinya akan menyelesaikan
segala masalah manusia (mu’alajat li masyakil al-Insan), khususnya masalah
publik semisal masalah dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan
sebagainya. Dan Khilafah berfungsi sebagai institusi pelaksana untuk syariat
Islam ini. Inilah fungsi Khilafah dalam negeri, yakni menerapkan Syariat Islam
khususnya dalam bidang-bidang yang tidak dapat tegak kecuali dengan adanya
Khilafah.
Maka, bersiaplah menyambut
kehadirannya. Takbir!
Allahu A'lam Bi Ash Shawab