Oleh: Aeni Saputro
(Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Kondisi masyarakat saat ini sudah karut marut tidak karuan dengan berbagai masalah kehidupan yang berputar-putar pada perekonomian, kesehatan dan pendidikan. Ditambah lagi dengan masalah-masalah rumah tangga lainnya, yang sangat menyesakkan dada bagai hidup segan mati tak mau, bagaimana mau mati coba? dosa saja masih menumpuk sedangkan amalan untuk dibawa matipun terasa kurang.
Berapa banyak bekal yang telah dipersiapkan menuju kematian mengingat mereka seringkali tersibukkan dengan rutinitas sehari-hari. Karena memang tak ada jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok apalagi kesehatan dan keamanan oleh negara. Rakyat mesti banting tulang untuk memenuhinya sendiri. Yang berharta bisa mendapatkan apapun fasilitas yang mereka inginkan sedangkan yang tidak berharta cukup bersyukur dapat makan hari ini dengan nutrisi minimalis.
Negara saat ini juga sibuk mengurusi urusan-urusan yang kurang penting dalam merespon polemik publik. Masyarakat 'sakit' merupakan dampak dari salah urus negara. Kerusakan moral dimana-mana namun negara justru sibuk mengurusi dan merespon apa yang menjadi kepentingan segelintir orang alias pemilik modal.
Negara dengan sistem kapitalis hanya bisa melahirkan model pemimpin yang lebih senang memuaskan hawa nafsunya sendiri. Mereka menganggap kekuasaan adalah salah satu cara mencapai kenikmatan hidup di dunia. Demi mencapai kehidupan ala Sultan yang bebas melakukan apapun keinginannya sedang masyarakat apa atuh? Jadi prioritas nomer sekian.
Kondisi masyarakatnya pun banyak yang belum sadar dan pasrah menerima demokrasi. Walau sudah berkali-kali di beri janji manis saat Pilkada namun jarang ditepati toh tetap memilih juga. Mereka tetap mau saja diiming-imingi dengan nominal atau benda yang jika dikalkulasi tak seberapa dengan kesengsaraan hidup yang dirasakan bertahun-tahun.
Sudah jatuh tertimpa tangga begitulah istilah jawa 'Apes'.
Masyarakat juga tampaknya belum sadar sepenuhnya bahwasannya hidup mereka semakin lama semakin sengsara dalam alam demokrasi ini. Buktinya tunawisma, kemiskinan, pengangguran dan kebutuhan serta bahan pokok dalam menunjang kehidupan semakin lama semakin menjulang tinggi. Hingga nilai rupiahpun tak ada artinya.
Anehnya lagi, boro-boro menuntaskan kemiskinan (memikirkan rakyatnya) malah membuat kebijakan RAN PE (Rancangan Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme). Padahal Sinkritisme, liberalisme, ancaman krisis pangan, PHK, pandemi corona, resesi ekonomi, aturan transportasi, konsesi HPH dan lain-lain adalah bahaya nyata mengancam negeri ini tapi mengapa justru yang keluar adalah Perpres tentang ekstrimis?
Dilansir dari tintasiyasi.com, (24/1/2021) bahwasannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) yang disahkan pemerintah beberapa waktu lalu dinilai Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, bangsa dan negara.
Ia menjelaskan bahwa RAN-PE tidak menjelaskan secara detailnya sehingga RAN-PE ini berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak adanya penjelasan secara detail mengenai indikator, kriteria, batasan dan defenisi dari paham ektremisme sebagaimana yang dimaksud dalam Perpres tersebut menjadikannya berbahaya.
Tindakan persekusi oleh aparat atau kelompok yang dijadikan mitra dalam community policing terhadap para tokoh kritis, aktivis, ajaran dan simbol agama. Seseorang atau kelompok orang akan makin mudah dipersekusi meskipun dalam status 'terduga'.
Dengan adanya RAN PE ini sangat berbahaya karena bisa memecah belah umat, saling curiga dan ketidak percayaan antar individu sehingga bisa merusak keharmonisan dalam masyarakat.
Pemerintah saat ini seharusnya sadar bahwasanya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kurang tepat akan menimbulkan banyak sekali polemik baru yang akan muncul di masyarakat. Hal ini juga mencerminkan ketidak becusan pemerintah dalam mengatasi masalah yang muncul dipermukaan.
Faktanya tuduhan radikalisme, terorisme, anti pancasila, anti kebhinekaan hanyalah ditujukan pada masyarakat atau kelompok yang ingin hidupnya senantiasa terikat dengan hukum syara' serta keinginan mereka untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya dan ingin menjadi hamba yang baik bagi agama (Islam) dan Tuhannya (Allah swt).
Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin. Islam memiliki seperangkat aturan yang tidak akan dimiliki oleh agama manapun. Semakin taat penganutnya, maka semakin baik, tenang dan tentram kehidupannya. Bahkan mereka senantiasa berlomba-lomba berbuat baik karena manusia yang terbaik di mata Allah adalah manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Maka tak layak apabila tuduhan radikal ataupun teroris ditujukan kepada hamba-hamba Allah yang beriman ini.
Islam adalah sebuah ideologi yang mempunyai seperangkat aturan untuk mengatur aktivitas kehidupan dari bangun tidur sampai tidur lagi. Semuanya diatur dalam Islam. Di dalam alquran terdapat banyak sekali aturan tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi hingga masalah rumah tangga dan sebagainya.
Contohnya dalam kehidupan bermasyarakat kita dilarang untuk saling menfitnah, berbuat keji serta melakukan tindakan atau perbuatan yang merugikan orang lain seperti halnya mencuri atau mengambil hak orang lain, saling menyanyangi atau peduli satu sama lain.
Dalam sistem sosial, pergaulan antara laki-laki dan perempuanpun terpisah. Semuanya jelas pengaturannya sehingga tidak ada istilah 'hidup gue urusan gue'. Semua perbuatan manusia akan senantiasa terikat dengan hukum syara'. Tak hanya berlaku bagi rakyat namun juga bagi penguasa. Hanya dengan sistem Islamlah yang akan melahirkan pemimpin amanah tak hanya berdimensi dunia tapi juga akhirat. Tidakkah kita rindu kepadanya?
Wallahu a'lam