Oleh: Ina Siti Julaeha S.Pd.I
Pengajar dan aktivis Muslimah
Presiden
Joko Widodo memutuskan pergantian Menteri Agama pada
kocok ulang atau reshuffle kabinet kali
ini. Penunjukan Yaqut Cholil Qoumas untuk menggantikan Fachrul Razi mengisi
jabatan Menteri Agama tersebut diumumkan pada Selasa (Jakarta, CNN Indonesia
22/12).
Namun
sayangnya belum genap sebulan dilantik, persoalan agama sudah mulai terjadi. Menag
Yaqut mengatakan soal agama adalah inspirasi bukan aspirasi, lalu melegalkan
aktivitas agama kaum Syiah dan Ahmadiyah, juga mengucapkan selamat hari natal
dan bicara soal Yesus. Baik sebelum
maupun sesudah diangkat menjadi Menag,
pernyataan Yaqut Cholil Qoumas sering kali mengundang perhatian khalayak. Sebab
membuat kontroversi di tengah umat Islam. Hingga mendapat kritik tajam dari
seorang publik figur mantan anggota Komnas HAM Natalius Pigai.
Sebagaimana
yang dilansir Suara.com - Eks anggota Komnas HAM, Natalius Pigai mengkritik
ucapan natal yang disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Gus
Yaqut. Natalius mengklaim tak membutuhkan ucapan natal dari Gus Yaqut.
Kritik
tersebut disampaikan oleh Natalius melalui akun Twitter miliknya
@nataliuspigai2. Dalam cuitannya, ia mengunggah foto tangkapan layar sebuah
artikel yang mewartakan Gus Yaqut memberikan ucapan natal."Saya tegas!
Tidak butuh ucapan natal, baik 'tidak tulus' juga 'berlebihan' dari luar
Kristiani," kata Natalius seperti dikutip Suara.com, Minggu (27/12/2020).
Natalius
meminta agar Gus Yaqut menjalankan agamanya sendiri dengan benar, tak perlu
memberikan ucapan selamat natal kepada umat Kristiani."Jalankan saja agamamu
dengan benar," ungkapnya. Itulah pernyataan menohok dari mantan anggota
HAM Natalius Pigai menyikapi pernyataan Menag RI. (suara.com 27/12/20)
Pernyataan
yang seharusnya menjadi perenungan mendalam bagi siapa saja yang membaca cuitan
beliau. Benar apa yang disampaikan mantan anggota HAM tersebut. Seseorang kerap
melakukan sebuah pencitraan agar menuai
pujian orang, meskipun hal itu justru terkesan berlebihan/lebay. Padahal
sejatinya setiap orang pasti membutuhkan sikap teguh dalam menjunjung sebuah idealisme.
Bukan keyakinan mencla mencle kemana saja
arahnya. Apalagi soal keyakinan yang menjadi hal yang paling berharga
dan penting pada setiap manusia.
Sistem
demokrasi begitu melegalkan kebebasan beragama. Dengan pandangan yang semu dan
keliru mengagnggap semua agama benar. Tidak perduli hal tersebut bisa
menyesatkan dan membawa dampak buruk bagi umat Islam. Racun demokrasi begitu
mendewakan kebebasan beragama. Asas sekulerisme menjadi landasan bahwa
kehidupan dunia tidak terkait dengan persoalan agama menjadi racun yang sangat
mematikan di tubuh kaum muslimin. Padahal dengan alasan apapun, dalam hal
berakidah umat Islam harus mengikuti prinsip teguh yang dicontohkan Rasulullah
SAW. Prinsip yang kuat dalam mempertahankan keyakinan Islam, dengan tetap toleransi
dengan non muslim.
Padahal
memang sepatutnya, untuk mendapatkan kebaikan hidup, muslim harus menjalankan
ajaran agamanya dengan baik. Sebab hal ini menjadi perhatian dan mendorong
orang kafir sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam. Sejarah khilafah
pun telah membuktikan bahwa dengan penerapan syariat Islam secara kaffah,
masyarakat yang hidup di dalamnya memperoleh banyak keadilan. Bahkan
kecondongan orang kafir untuk memeluk Islam pun sangat kuat. Sebab mereka
melihat, merasakan dan menyaksikan secara nyata bentuk penerapan Islam yang
membawa rahmat dan keadilan juga kebaikan untuk semua makhluk.
Selain itu
ajaran Islam telah mengajarkan untuk bertoleransi. Toleransi bukan soal
bermanis muka dan terlibat aktif atau
bahkan membenarkan syirik dengan alasan menghargai kaum minoritas. Sebab istilah
toleransi sendiri yakni tasamuh artinya membiarkan
orang kafir beribadah sesuai kepercayaan
mereka. Tanpa mengganggu, apalagi ikut serta. Telah jelas syariat Islam
mengatur persoalan toleransi yang benar.
Dalam surat
alkafirun Allah berfirman : Bagimu
Agamamu dan Bagiku Agamaku (Q. S
al-Kafirun ayat 6). Jika melihat kepada asbabunuzul dari turunnya ayat, maka
kita dapati bahwa Rasulullah SAW pernah diminta untuk beribadah secara
bergantian dengan Tuhan orang kafir selama setahun. Namun Allah SWT menurunkan
surat ini kepada Rasulullah sebagai sikap dan prinsip kuat sebagai seorang
muslim yakni tetap berpegang teguh pada kebenaran Islam. Tidak sedikit pun bernegosiasi
dalam hal akidah.
Dalam sejarah
Islam, mulai dari kepemimpinan Rasulullah SAW hingga para khilafah yang
melanjutkan kepemimpinannya, toleransi beragama selalu dijaga dengan baik. Di
masa Rasulullah aturan interaksi antara muslim dan non muslim tertuang secara
adil sebagaimana tercantum dalam piagam Madinah. Piagam Madinah mengatur interaksi
umat Islam dan di luar Islam tanpa kezaliman, juga tanpa harus mengotori
syariat Islam dengan pluralisme. Bertoleransi adalah sebuah keharusan. Sebab syariat
Islam tidak memaksakan beragama kepada siapa pun. Jadi persoalan menghargai hak
ibadah untuk orang di luar Islam sudah menjadi hal yang dianjurkan. Tanpa harus
menghinakan syariat Islam itu sendiri. Apalagi dengan misi pencitraan yang
menyesatkan umat. Toleransi beragama tetap dijaga dengan baik oleh para
khalifah selama 13 abad memimpin hingga 2/3 dunia. Khilafah Islamiyah dengan
menerapkan aturan Islam, telah mampu menjadi peradaban yang menebar kebaikan di
seluruh dunia dengan tetap bersikap adil kepada warga non muslim.
Menarik apa yang
dikatakan oleh Karen Armstrong: There was no tradition of religious
persecution in the Islamic empire (Tidak ada tradisi persekusi agama
dalam imperium [Khilafah] Islam).” (Karen Armstrong, Holy War: The
Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited,
1991, hlm. 44).
Seorang
orientalis Inggris, T.W. Arnold, pernah menuliskan tentang kebijakan Khilafah
Ustmaniyah terhadap warganya yang non-Muslim. Arnold menyatakan, “The
treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two
centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at
that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen
oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah
penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya
tidak dikenal di daratan Eropa).”
Ia pun mencatat
bahwa keadilan Khilafah Islamiyah membuat warga Kristen penduduk Syam lebih
memilih hidup di bawah kekuasaan Khilafah dibandingkan dipimpin oleh Kaisar
Romawi. Padahal Kaisar Romawi beragama Kristen (Arnold, The Preaching
of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).
Khilafah
Islamiyah di bawah kepemimpinan sang
khalifah mengajarkan bahwa Islam menghormati dan menghargai perbedaan
keyakinan. Oleh karena itu, umat Islam Tidak bisa berbicara toleransi dengan
sudut pandang sekuler. Melainkan merujuk kepada sumber ajaran Islam yakni
Al-Quran dan Hadis. Bukan dengan standar ganda demokrasi yang rusak, dan asas
pluraslisme agama yang membawa umat pada jurang kesesatan dan kesyirikan. Naudzbubillah.
Wallahu a’lam
BIshawwab.