Sosok Ibu, Antara Harapan dan Kenyataan.




(ummu hanif, anggota lingkar penulis ideologis)

Bulan Desember memang telah berlalu. Namun keagungannya masih membekas di hati para ibu. Bulan desember memang sering diartikan sebagai bulan keagungan para Ibu di Indonesia. Kenapa hanya di Indonesia, karena peringatan hari Ibu itu berbeda-beda tiap negara. Di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, Hari Ibu atau Mother’s Day(dalam bahasa Inggris) dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day diperingati setiap tanggal 8 Maret. Sementara di Indonesia, sesuai dengan keputusan Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938 serta Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, yang dikeluarkan presiden Soekarno, menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu (wikipedia.org).
Tujuan peringatan Hari Ibu adalah agar masyarakat lebih mencintai, menghormati dan mengenang jasa-jasa para ibu. Berharap, momen ini mampu membahagiakan mereka, serta para Ibu bisa berbangga dengan posisinya yang mulia. Namun, benarkah dengan adanya peringatan hari Ibu, posisi mereka kembali ke tempat yang mulia? 
Di alam demokrasi yang menopang ideologi kapitalisme-liberalisme, kehidupan seorang Ibu selalu diliputi kegelisahaan yang tidak sedikit berujung pada kematian. Sampai hari ini, demokrasi belum bisa memberikan kehidupan yang layak bagi banyak perempuan dan ibu di penjuru dunia. Kaum perempuan tetap saja masih tersubordinasi baik secara ekonomi, sosial, pendidikan, serta politik. Padahal, banyak orang di seluruh dunia percaya kalau sistem ini akan memberikan kehidupan yang layak pada setiap manusia, termasuk para ibu.
Di antara tugas mulia seorang ibu adalah melahirkan anak. Namun, sampai hari ini angka kematian ibu melahirkan (AKI) di seluruh dunia, juga di tanah air masih tinggi. Seperti yang dilansir www.voaindonesia.com pada 3/12/2020, bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu berkisar 300 per 100.000 kelahiran. Meski pemerintah memiliki target menurunkan angka itu menjadi 183 per 100.000 kelahiran pada tahun 2024, namun Atashendartini Habsjah, aktivis dari Gabungan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI), mengkhawatirkan angka itu tidak akan tercapai.
Kekhawatiran itu dia sampaikan, ketika GPPI bersama UNFPA dan UN Women menyelenggarakan dialog "Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan di Indonesia: Isu Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Perempuan serta Harmfull Practices", Kamis (3/12).
Kasus Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), yang menjadikan para ibu sebagai korban, juga terus bertambah setiap tahunnya. Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 29 Februari - 10 Juni 2020 terdapat 787 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan 523 kasus KDRT (www.kemenpppa.go.id, 12/6/2020). 
Setelah sederet permasalahan dalam rumah tangga, keganasan sistem kapitalis, memaksa para Ibu juga harus menghadapi banyak persoalan di luar rumah. Sistem perekonomian kapitalisme, telah sukses menciptakan jurang kemiskinan yang menganga. Keadaan ini mendorong banyak perempuan akhirnya ikut bekerja atau malah menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi ini, selain berdampak adanya kekerasan saat bekerja, juga membawa ikutan berupa terbengkalainya tugas ibu di dalam keluarga. Bahkan tidak sedikit kasus ibu yang tega membunuh anaknya sendiri akibat tertekannya mental karena masalah ekonomi.
Liberalisme bukan saja merusak sistem ekonomi, tapi juga merusak moral masyarakat termasuk kaum ibu. Kecanggihan teknologi informasi dengan adanya  smartphone dan mudahnya akses internet ternyata menjadi celah kerusakan rumah tangga. Perselingkuhan yang berawal dari media sosial tidak sedikit jumlahnya.
Kalau kita mau mencermati lebih mendalam gambaran kondisi para ibu di atas, sungguh bisa dilihat, bahwa yang diinginkan para Ibu bukan hanya sekedar peringatan 1 kali dalam setahun dengan berbagai seremonialnya. Para ibu bukan sekedar butuh rasa hormat dari anak-anak mereka, tapi juga sistem yang baik untuk melindungi mereka. Dan sistem demokrasi-kapitalisme, tak kunjung mampu menciptakan keadaan tersebut. Kini sudah saatnya umat kembali kepada aturan kehidupan yang berasal dari Sang Maha Pencipta, yang telah menciptakan pria dan wanita serta mengetahui tabiat-tabiat mereka, yakni Syariat Islam. Hanya dalam Islam kaum wanita dan para ibu akan mendapat perlindungan dan kemuliaan. 

Wallhu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak