Oleh : Ummu Syam*
Pemerintah Indonesia rasanya tidak akan pernah bosan menghembuskan isu radikalisme ke tengah-tengah masyarakat. Setelah Rohis di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang dituduh menjadi ladang untuk menyemai bibit paham radikalisme, kini aksi terorisme pun selalu dikaitkan dengan paham radikalisme. Konon, paham radikalisme lah yang telah mendorong aksi terorisme tersebut dilakukan.
Seperti contohnya aksi terorisme yang terjadi di Surabaya dan Sibolga, Sumatera Utara yang melibatkan satu keluarga (terdiri dari ayah, ibu dan anak). Kedua aksi terorisme tersebut dilakukan oleh keluarga yang diduga memiliki doktrin paham radikalisme.
Karenanya, untuk mencegah masuk dan berakarnya paham radikalisme pada tatanan keluarga, pemerintah menyarankan agar para orang tua harus memiliki peran yang kuat dalam kehidupan anak.
Utamanya dalam menanamkan pemahaman agama yang benar, memperkuat ideologi Pancasila dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, mengenalkan kebhinekaan dan memberikan pemahaman kepada anak akan bahaya radikalisme. (CNN Indonesia 15/5/2018, dikutip 8/1/2021)
Radikalisme nyatanya menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa ini, baik untuk saat ini atau pun di masa mendatang. Kemunculannya bak duri dalam daging karena mengancam eksistensi ideologi Pancasila dan sistem Demokrasi-Kapitalisme yang diemban oleh bangsa ini, sehingga harus diperangi dan dimusnahkan.
Selain pemikiran dan gerakan yang mengancam eksistensi ideologi Pancasila dan sistem Demokrasi-Kapitalisme, aksi lain yang termasuk mengandung paham radikalisme ialah aksi-aksi kekerasan, baik yang dilakukan secara individual maupun kolektif, baik yang mengarah kepada terorisme maupun ekstrimisme lainnya.
Di sini kita bisa menilai bahwa pemerintah telah melakukan ketidakadilan, karena telah melakukan penyempitan makna radikalisme dengan mengkategorikannya kepada dua kategori di atas. Dan di sini telah jelas, bahwa isu radikalisme tersebut ditujukan untuk menghantam umat Islam yang pemahamannya tidak sejalan dengan ideologi Pancasila dan sistem Demokrasi-Kapitalisme, karena akidah Islam sendiri telah menafikan keberadaan sistem lain selain Islam.
Padahal, jika dilihat dari aspek sejarah radikalisme sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata "radix" yang berarti "akar". Makna ini muncul dalam konteks perlawanan sosial-politik rakyat terhadap dominasi tirani dan kepongahan rezim penguasa yang bertujuan untuk melakukan reformasi dan perubahan mendasar atas sistem sosial-politik-ekonomi-hukum agar lebih pro dan bermanfaat untuk rakyat banyak. Kata "akar" di sini maksudnya bahwa sebuah perubahan politik "must come from the root" atau "the very basic source of society".
Yang artinya bahwa orang-orang yang radikal ialah orang-orang yang senantiasa mengambil sesuatu dari akarnya. Maka, seharusnya bukanlah tindakan yang salah jika keluarga muslim mengambil Islam dari akarnya untuk dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan seperti mengajarkan berhijab syar'i kepada anak dan tidak ikut mengucapkan atau merayakan perayaan hari raya agama lain. Mengajarkan anak bahwa Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan dengan dirinya sendiri adalah ajaran yang berasal dari akidah Islam yang paling dasar.
Adapun mengenai terorisme yang dikaitkan dengan paham radikalisme itu adalah hal umum yang biasa dilakukan oleh para pembenci Islam. Mereka melihat perilaku-perilaku negatif yang ditampilkan oleh sebagian umat Islam, lalu dari kekosongan itu mereka menyusup untuk melontarkan tuduhan-tuduhan negatif terhadap Islam salah satunya adalah isu radikalisme (Islam). Karena, jika seorang muslim sejati yang memahami Islam kaffah tentu tidak akan melakukan tindakan yang merugikan orang lain dan menyakiti diri sendiri.
Hal ini seharusnya membuat keluarga muslim menyadari bahwa isu radikalisme yang diarahkan kepada keluarga muslim bermaksud untuk menghalangi pengenalan terhadap Islam kaffah dan implementasi syariat Islam dalam ruang lingkup individu, keluarga, masyarakat hingga negara. Hal ini pula lah yang seharusnya membuat keluarga muslim semakin menyadari akan kebutuhan untuk mengenali agamanya, kebutuhan akan Islam sebagai problem solving dalam segala permasalahan kehidupan.
Memang seperti itulah adanya, para pembenci Islam akan senantiasa membuat umat Islam berada lebih jauh lagi dari kebangkitan. Mereka akan menghalalkan segala cara bahkan jika harus mengotori tangan mereka sendiri dengan darah umat Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.
*(Aktivis Muslimah Majalengka)
Tags
Opini