Oleh: Ilmu Mumtahanah
(Aktivis Perempuan Konawe)
John Perkins dalam bukunya, A Confession of Economic Hit Man, mengatakan bahwa salah satu modus intervensi adalah melalui strategi pemberian pinjaman (investasi). Perkins menyebutkan, pinjaman diberikan terus-menerus agar negara yang dituju akhirnya terjebak utang yang diterimanya itu. Sehingga, secara politik dan ekonomi menjadi tergantung. Pada saat itu berbagai macam intervensi dengan mudah dilakukan. Alhasil, satu negeri begitu mudah disetir pihak luar bahkan untuk perkara vital.
Bicara tentang penerima pinjaman atau investasi, negara Indonesia merupakan salah satu pelakunya. Di tengah mewabahnya Covid-19 sepanjang tahun 2020 ini, Indonesia tetap saja meningkatkan aktivitas utang skala negara. Tak terkecuali, skala daerah.
Dilansir dari Telisik.id, 28/11/2020, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD) kabupaten Wakatobi didemo oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Barisan Orator Masyarakat (BOM) Kepulauan Buton (Kepton). Demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat itu, menuntut agar DPRD Wakatobi membatalkan rencana peminjaman uang yang akan dilakukan pemerintah daerah (Pemda) kabupaten Wakatobi sebesar Rp 200 miliar untuk pembangunan infrastruktur jalan di pulau Kaledupa, Tomia dan Binongko.
Koordinator aksi, Roziq Arifin mengungkapkan, pihaknya menolak peminjaman uang yang dilakukan Pemda Wakatobi adalah karena peruntukkan sejumlah uang tersebut juga nantinya terkesan digunakan untuk sesuatu yang tidak terlalu urgen. Dimana, dari rencana pinjaman uang tahun 2021 itu semuanya tentang infrastruktur seperti pembangunan kantor bupati senilai Rp 62 miliar dan jalanya Rp 8 miliar.
Dalam sistem kapitalisme, pinjaman dana yang kebanyakan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pasti akan menimbulkan masalah jangka panjang. Mulai dari bunga yang makin meningkat, denda keterlambatan, pajak yang dibebankan pada rakyat, hingga munculnya hukum tebang pilih terhadap pemilik modal. Hal ini lumrah terjadi. Mengingat, tidak ada makan siang gratis dalam konstelasi sistem kapitalisme.
Berbeda dengan Islam, dimana pembangunan infrastruktur tersentralisasi dari baitul mal. Utang terhadap pihak luar menjadi pilihan terakhir ketika kas baitul mal kosong dan tidak ada aghniya yang memberikan pinjaman terhadap negara.
Pun, dalam sistem pemerintahan Islam, infrastruktur difungsikan untuk memberikan kemudahan kepada rakyat dalam pendistribusian kebutuhan dan aktivitas keseharian tanpa adanya unsur penarikan pajak. Betapa khalifah begitu memperhatikan hukum syara' dalam pembangunan infrastruktur. Wallahu a’lam bisshowab.