Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Selama beberapa dekade terakhir, perubahan iklim menjadi salah satu isu penting yang diperbincangkan di seluruh dunia dan didebatkan sebagai bagian agenda public.
Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena perubahan pola keikliman yang berpengaruh terhadap perubahan pola cuaca suatu daerah hingga dunia dalam jangka panjang. Iklim berbeda dengan cuaca. Cuaca adalah kondisi atmosfer yang terjadi secara lokal dalam jangka waktu pendek. Contoh cuaca yaitu hujan, angin, banjir, berawan, dan sebagainya. Sementara itu, iklim berhubungan kondisi suhu, kelembaban udara, ataupun pola hujan rata-rata pada tiap musim dalam jangka tahunan atau, bahkan, puluhan tahun.
Sementara itu, beberapa waktu lalu tepatnya senin 21 januari 2021, dunia internasional juga menggelar Konferensi Tingkat Tinggi Climate Adaptation Summit (KTT CAS). Hadir dalam KTT kali ini di antaranya Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, Co-Chair Global Commission on Adaptation Ban Ki-moon, pemimpin sejumlah institusi perekonomian dan pembangunan internasional, dan para peserta pertemuan yang terdiri atas 22 kepala negara atau pemerintahan.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo sebagai salah satu peserta konferensi, menyerukan sejumlah langkah luar biasa bagi upaya penanganan global mengenai dampak perubahan iklim.
Pertama, memastikan semua negara memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim (Nationally Determined Contribution/NDC). Kedua, mendorong seluruh potensi masyarakat untuk melakukan aksi terkait dampak perubahan iklim yang niscaya terjadi di masa mendatang. Ketiga, menyerukan penguatan kemitraan global. Dan terakhir, Indonesia mengajak seluruh negara untuk terus melanjutkan pembangunan hijau guna menjadikan dunia yang lebih baik.
Jokowi sangat berharap agar KTT CAS Tahun 2021 ini dapat berdampak pada peningkatan aksi iklim dunia melalui solidaritas, kolaborasi, dan kepemimpinan kolektif global, serta mengawal detail pelaksanaannya di masing-masing negara. (tempo.co, 26/1/2021).
Kalau kita perhatikan dengan seksama, pangkal penyebab persoalan perubahan iklim global adalah terjadinya pembangunan bersifat kapitalistik yang didukung penuh sistem kehidupan yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan agama. Khususnya sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politiknya. Sehingga sangat disayangkan, jika upaya yang diaruskan dunia hari ini tidak sedikit pun menyentuh akar masalahnya. Kondisi ini lahir karena gaya hidup kapitalis, tapi solusinya tetap dalam kerangka ekonomi kapitalis.
Sebut saja agenda energi hijau berupa biofuel berbasis sawit yang digadang – gadang sebagai upaya mendukung gerakan global pengurangan emisi oleh sumber energi fosil dan biodiesel. Program ini justru mengakibatkan jutaan hektare hutan dan lahan gambut dimusnahkan. Juga kebakaran hutan dan lahan gambut jutaan hektare setiap tahun. Namun, seakan penguasa tetap bersikukuh dengan pandangannya.
Seperti yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ,Arifin Tasrif, saat menghadiri The 11th Clean Energy Ministerial Meeting (CEM11) and The 5th Mission Innovation (MI-5). Arifin menyatakan bahwa Indonesia bertekad mengembangkan biofuel dan secara bertahap juga mengurangi penggunaan sumber energi fosil dengan biodiesel dan membangun green refinery untuk memaksimalkan potensi sawit yang dimiliki. (www.industri.kontan.co.id, 23/10/2020)
Fakta ini sangat berbeda dengan islam, dalam pandangan Islam, manusia ialah makhluk terbaik diantara semua ciptaan Allah dan berani memegang tanggungjawab mengelola bumi, maka semua yang ada di bumi diserahkan untuk manusia. Sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan. Rasulullah SAW juga memberikan teladan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Hadist tentang pujian Allah kepada orang yang menyingkirkan duri dari jalan; dan bahkan Allah akan mengampuni dosanya, menyingkirkan gangguan dari jalan ialah sedekah, sebagian dari iman,dan merupakan perbuatan baik.
Di samping itu Rasulullah melarang merusak lingkungan mulai dari perbuatan yang sangat kecil dan remeh seperti melarang membuang kotoran (manusia) di bawah pohon yang sedang berbuah, di aliran sungai, di tengah jalan, atau di tempat orang berteduh. Rasulullah juga sangat peduli terhadap kelestarian satwa, sebagaimana diceritakan dalam Hadist riwayat Abu Dawud. Rasulullah pernah menegur salah seorang sahabatnya yang pada saat perjalanan, mereka mengambil anak burung yang berada di sarangnya.
Dan saat ini perubahan iklim itu nyata. Akankah kita tetap diam saja? Membiarkan alam tetap diurus dengan sistem kapitalis yang tidak peduli kehidupan masyarkat umu dan juga lingkungan? Ataukah kita mau bergerak menyuarakan, untuk kembali kepada islam dan aturannya sebagaimana tahun – tahun silam. Saat Rosul dan para sahabat masih memegang kekuasaan untuk menyelamatkan dunia.
Wallahu a’lam bi ash showab.