Oleh: Seni Fitriyani, SS.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Nomor 7 Tahun 2021pada tanggal 6 Januari 2021 lalu. Sebagian masyarakat merasa khawatir dan resah dengan diterbitkannya Perpres tersebut. Maka tidak heran semenjak diterbitkannya, Perpres tersebut telah menuai banyak kritik dari berbagai kalangan.
Tujuan dari diterbitkannya Perpres ini katanya adalah untuk memberikan rasa aman. Tapi justru sebaliknya, banyak pihak menilai Perpres RAN PE ini berbahaya karena berpotensi menciptakan kegaduhan baru di masyarakat, yakni potensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Kekhawatiran ini setidaknya didasari dua alasan. Pertama, karena tidak adanya definisi yang jelas mengenai definisi "ekstremisme". Ketua Umum LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan menjelaskan Perpres RAN PE ini berpotensi diterapkan sewenang-wenang. "Penerapannya dikhawatirkan sewenang-wenang dalam menafsirkan ekstremisme," ujarnya (mediaumat.news, 20/1/2021).
Chandra menjelaskan bahwa harus didefinisikan secara konkrit dan memiliki batasan yang jelas paham apa yang dapat dikategorikan "ekstremisme". Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur sehingga berpotensi diterapkan secara sewenang-wenang. Padahal menurutnya, hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh luas atau multitafsir pemaknaannya. (mediaumat.news, 20/1/21)
Kedua, berpotensi adu domba. Salah satu realisasi Prepres RAN PE ini adalah program pemberian pelatihan kepada masyarakat untuk melaporkan anggota masyarakat lainnya yang dicurigai terkait menganut suatu keyakinan ekstremisme yang mengarah pada terorisme.
Hal ini mendorong masyarakat untuk saling mengawasi, mencurigai, melaporkan, mempolisikan satu sama lain. Padahal definisi terkait "ekstremisme" yang dimaksud juga belum jelas.
Ada juga kalangan masyarakat yang mempertanyakan urgensi dari diterbitkannya Perpres RAN PE ini. Secara negeri ini tengah mengahadapi krisis multidimensi, termasuk masalah penanganan bencana dan Covid-19 yang semakin buruk.
Mengapa ditengah berbagai masalah yang membutuhkan fokus pemerintah yang besar, pemerintah justru terlihat terlalu menggebu-gebu terhadap isu radikalisme ini? Sehingga pemerintah menganggap perlu menerbitkan Perpres RAN PE ini.
Dari isinya bisa disimpulkan bahwa Perpres RAN PE ini adalah bagian dari upaya deradikalisasi. Ada dugaan kuat Perpress ini menyasar umat Islam.
Kecurigaan ini cukup beralasan, karena sejak diumumkannya War on Terror, yakni sejak peristiwa WTC 11 September 2001, Islam selalu dijadikan pihak tertuduh dari isu-isu terkait terorisme dan radikalisme.
Berbagai ajaran Islam dikriminalisasi, seperti khilafah, jihad, syariah, qishos dan lainnya. Mendakwahkannya dianggap menyebarkan paham radikal, mengancam NKRI, bentuk intoleransi dan kekerasan. Padahal ini adalah ajaran Islam yang terbukti kebenarannya. Begitupun cap radikal disematkan pada mereka yang giat beramar ma'ruf terhadap penguasa, mengkritisi kebijakan yang tak sesuai dengan Islam, dan menawarkan solusi-solusi Islam atas kemelut persoalan yang melilit negeri ini.
Akan tetapi di saat yang sama, pemerintah diam terhadap aksi-aksi yang memang terkategori real kekerasan. Mereka diam terhadap OPM, GAM dan lainnya. Padahal jelas-jelas mereka melakukan upaya-upaya separatisme. Mereka pun selamat dari cap teroris dan radikal. Mereka hanya disebut sebagai gerakan kriminal bersenjata.
Advokat Ahmad Khozinuddin menilai Perpres RAN PE ini sebagai suatu model ekstensifikasi dan intensifikasi kriminalisasi. Karena sebelumnya kriminalisasi itu diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum melalui pasal-pasal yang umum ada di dalam perundangan, misalnya pasal-pasal UU ITE, pasal-pasal menyebar kabar hoaks, pasal-pasal makar, serta pasal-pasal dianggap fitnah dan kebencian (mediaumat.news, 25/1/21)
Menurutnya, ekstensifikasi kriminalisasi yaitu perluasan area kriminalisasi yang sebelumnya menyasar orang tertentu berdasarkan undang-undang yang sudah ada dan sekarang ke seluruh anggota masyarakat. "Dan dalihnya cukup dianggap meyakini suatu pemikiran yang ekstrem," ungkapnya.
Selanjutnya intensifikasi yang ia maksud yakni mengintensifkan peran masyarakat untuk saling lapor-melaporkan, saling mengawasi, dan saling mencurigai."Jelas sasaran isu ekstremisme ini diarahkan pada umat Islam,"tegasnya.
Jika ekstremisme yang dimaksud dalam Perpres ini adalah Islam dan ajarannya, maka pemerintah salah sasaran. Karena mendakwahkan ajaran Islam bukanlah suatu kejahatan. Begitupun mengkritik kebijakan yang dapat menyengsarakan rakyat adalah sebagai bukti kecintaan terhadap tanah air. Bukankah orang-orang serta ofmas yang dicap radikal itu mereka lah yang selalu berada di garda terdepan ketika negeri ini ditimpa musibah dan bencana? Jadi tak elok lah jika pemerintah menganggap mereka itu musuh.
Jika memang benar-benar serius ingin memberikan rasa aman terhadap rakyatnya, maka fokuslah terhadap permasalahan yang membelit negeri ini. Berantas korupsi, tegakkanlah keadilan. Jangan hukum itu diskriminatif, hanya jadi alat kekuasaan, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sigap lah mengatasi bencana-bencana yang terjadi, jangan merusak alam dengan eksploitasi serampangan. Uruslah masalah Covid-19 dengan benar, jangan malah bancakan dana bansos. Stabilkan harga-harga, jangan apa-apa mahal. Stop jual aset negara, gunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan begitu barulah rakyat akan merasa tentram. Bukan bikin Perpres yang malah akan menambah kegaduhan dan konflik.
Wallahu a'lam