Oleh
Mariya Qibtiyy
Menurut catatan LaporCOVID-19 Sebanyak 96
tenaga kesehatan di antaranya meninggal dunia pada Desember 2020, dan merupakan
angka kematian nakes tertinggi dalam sebulan selama pandemi berlangsung di Tanah
Air.
Mengutip Kompas.com, Sabtu (5/12/2020)
Ketua Umum Tim Mitigasi Pengurus Besar IDI (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan,
angka kematian tenaga kesehatan naik hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu
seminggu pertama pada Desember 2020.
"PD IDI mengimbau, agar meski ada
masyarakat yang tidak percaya adanya Covid-19, namun mohon agar tetap
menjalankan protokol kesehatan agar tidak membahayakan orang lain," ujar
Adib.
IDI juga mengimbau masyarakat agar
menghindari kegiatan berkerumun dan atau yang melibatkan orang banyak, serta
tetap menjalankan protokol kesehatan.
Adib mengatakan, "Tingginya angka
kematian tenaga kesehatan dan bertambahnya angka kasus harian di Indonesia,
menjadi pengingat para tenaga medis untuk tetap waspada dan selalu menggunakan
APD dalam menjalankan tugas."
"Sejak Maret hingga akhir Desember
2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat
terinfeksi Covid-19," ujar Adib dikutip dari siaran pers PB IDI, Sabtu
(2/1/2021).
"Jumlah itu terdiri dari 237 dokter
dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium
medis," tuturnya.
Adib merinci, para dokter yang wafat
tersebut terdiri dari 131 dokter umum, 101 dokter spesialis dan serta 5 residen
yang seluruhnya berasal dari 25 IDI Wilayah (provinsi) dan 102 IDI Cabang
(Kota/Kabupaten).
Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany,
mengataka, "Setelah para nakes meninggal, tidak ada pemberian gelar
pahlawan yang benar, tanda jasa, atau fasilitas pada keluarga yang ditinggalkan
layaknya penghargaan yang diterima tentara saat perang."
Kita sebagai rakyat bisa mendukung para
tenaga kesehatan dengan menjaga diri kita agar jangan sampai tertular Covid-19
dengan disiplin protokol kesehatan. Namun apa yang terjadi pada para tenaga
medis di masa pandemi ini seharusnya menyadarkan kita, dalam negara demokrasi,
kontestasi kekuasaan lebih dipentingkan daripada nyawa rakyat.
Dalam Islam, nyawa manusia adalah hal yang
sangat dijaga. Para pemimpin kaum muslimin (Khalifah) selalu berupaya
mewujudkan hifdzu an-nafs (penjagaan nyawa manusia) sebagai bagian dari
maqashidu asysyariah. Seperti Khalifah Umar bin Khaththab yang menangis setiap
malam karena khawatir akan beratnya hisab atas rakyat yang menjadi tanggung
jawabnya.
Inilah beda penguasa Islam dan penguasa
dalam demokrasi. Penguasa Islam menangis karena khawatir kurang dalam mengurusi
rakyatnya, sedangkan penguasa dalam demokrasi menangis jika tak dapat
memperoleh kekuasaan yang diincarnya. Sungguh jauh berbeda.
Di zaman Rasulullah Saw., jikalau ada
sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit tha’un, Rasulullah Saw.
memerintahkan untuk mengisolasi atau mengarantina para penderitanya di tempat
isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk.
Ketika diisolasi, penderita diperiksa
secara detail, kemudian dilakukan langkah-langkah pengobatan dengan pantauan
ketat. Para penderita baru boleh meninggalkan ruang isolasi ketika dinyatakan
sudah sembuh total.
Tha’un sebagaimana disabdakan Rasulullah
Saw. adalah wabah penyakit menular yang mematikan, penyebabnya berasal dari
bakteri Pasteurella pestis [sekarang disebut Yersinia pestis] yang menyerang
tubuh manusia.
Jika umat muslim menghadapi hal ini, dalam
sebuah hadis disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang
bersabar ketika menghadapi wabah penyakit.
الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Kematian karena wabah adalah surga bagi
tiap muslim (yang meninggal karenanya).” (HR Bukhari)
Tak ada jalan lain untuk mengatasi pandemi,
kecuali mengembalikan segala solusinya kepada Sang Pemilik, yakni Allah SWT.
Karena virus penyebab Covid-19, segala variannya, beserta pandemi ini, semuanya
berasal dari-Nya.
Sangat mudah bagi Allah untuk memerintahkan
pandemi ini mereda. Tapi, kapankah masa itu terjadi? Tentu ketika seluruh dunia
telah bertobat dan berbondong-bondong menyambut tegaknya tata aturan kehidupan
yang juga diperintahkan oleh Allah. Tugas kita adalah mengemban amanah tersebut
agar tunai dengan sebaik-baiknya.
Jika lockdown telah dikenal sebagai solusi
tepat penanganan pandemi, maka ketahuilah bahwa itu adalah salah satu perintah
Rasulullah saw.
Beliau saw bersabda, “Jika kamu mendengar
wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi
wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Ini sejatinya jawaban, di mana sudah tiba
masa syariat Allah disambut untuk diterapkan. Yang tentu saja, syariat Islam
hanya bisa diformalkan melalui tegak Khilafah Islamiah. Bukan dengan sistem
yang lain, alih-alih demokrasi.
Inilah abad Khilafah, yang sudah dijanjikan
Allah dan sudah dinantikan penegakannya pada akhir zaman. Sebagaimana bisyarah
Rasulullah saw., “… akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga
ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali
Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad dalam Musnad-nya (no.
18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam
Sunan-nya (no. 2796)).