Oleh : Tita Rahayu Sulaeman
(Pengemban Dakwah, Komunitas Menulis Ksatria Aksara Bandung)
Pada 9 Desember 2020 lalu, Pilkada serentak di beberapa daerah di Indonesia digelar. Meski di tengah kondisi pandemi, Pilkada tetap digelar. Gelaran Pilkada ternyata tak ingin dilewatkan oleh sebagian masyarakat. Masyarakat masih menaruh harapan tinggi akan lahirnya pemimpin yang membawa perbaikan dan perubahan melalui gelaran pesta demokrasi. KPU mencatat, sebesar 76,13 % masyarakat menggunakan hak pilihnya pada pilkada tahun 2020 ini (tempo.com 17/12).
Kehadiran pemimpin bagi umat Islam amatlah penting. Harapan tertinggi umat Islam terhadap pemimpin ialah adanya pemimpin yang mampu menghadirkan Islam dalam setiap aspek kehidupan dengan menegakan syariat Islam. Dengan demikian, rakyat tidak hanya terjamin kehidupannya di dunia, tapi juga berada dalam bingkai ketaatan sesuai perintah Allah SWT.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208)
Namun akankah lahir sosok pemimpin yang mampu menegakan syariat Islam melalui sistem demokrasi ?
Ustadzah Pratma Julia Sunjandari, S.P. pada acara Refleksi Akhir Tahun (RATU) menjelaskan Demokrasi tak pernah berpihak pada penegakan syariat Islam. Pertama, alasan syar'i. Allah SWT melarang mencampurkan yang Haq (yaitu Islam) dengan yang bathil (yaitu demokrasi). Demokrasi berpijak pada asas sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan). Hal ini menjadikannya bathil atau bertentangan dengan Islam. Sedangkan Islam menjadikan asas kehidupan pada aturan agama. Allah SWT melarang umat Islam mencampurkan yang Haq dan yang Bathil.
Allah berfirman, “Dan janganlah kalian campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kalian sembunyikan kebenaran, sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS al- Baqarah: 42).
Kedua, dilihat secara realitas. Fakta hingga hari ini, penegakan syariat melalui parlemen tak pernah semulus yang diharapkan. Pada tahun 2005 RUU pornoaksi dan pornografi masuk prolegnas. Hingga tahun 2008 disahkan dengan mengurangi banyak hal dari rancangan awal undang-undang. Terbaru di DPR, RUU pelarangan minol mendapatkan penentangan dari beberapa pihak.
Ketiga, dilihat secara historis. Demokrasi lahir dari paham sekulerisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam bernegara. Agama hanya boleh sebatas ibadah. Jadi sangat tidak mungkin sistem demokrasi memberi ruang pada penegakan syariat Islam.
Dari penjelasan Ustadzah Pratma di atas, seharusnya umat Islam bisa menyadari bahwa kehadiran sosok pemimpin yang mampu menegakan syariat Islam tidak akan pernah lahir dari sistem demokrasi. Demokrasi selamanya tak akan pernah memberi ruang pada penegakan syariat Islam. Padahal hanya dengan syariat islam, Allah turunkan rahmat bagi seluruh alam.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).
Saatnya umat Islam kembali hanya pada ajaran Islam saja. Sebagai tuntunan dalam kehidupan dan dalam melahirkan sosok pemimpin yang mampu menegakan syariat Islam.
Wallahu’alam bishawab