Oleh: Nur Khasanah
Tak terasa, liburan semester pertama tahun ajaran
2020-2021 telah berakhir. Di semester pertama selama pandemi, hampir seluruh
kegiatan belajar mengajar di lakukan secara daring. Alhasil kebijakan ini pun
menuai pro-kontra dari berbagai kalangan. Mulai dari orang tua, murid, maupun
pengajar. Tentu saja masing-masing juga memiliki argumen. Mulai dari proses
belajar mengajar yang tidak efektif, murid-murid yang merasa kesulitan dalam
menerima dan memahami pelajaran, fasilitas yang kurang memadai, orang tua yang
merasa kesulitan dalam mengawasi dan membimbing anak-anaknya, para guru yang
belum berpengalaman mengajar via online dan lain-lain.
Sebagai tanggapan dari protes yang ada, akhirnya
pemerintah pun menetapkan untuk kembali melaksanakan kegiatan belajar mengajar
dengan tatap muka meski di tengah pandemi. Tentu saja dengan beberapa syarat
tertentu misalnya hanya di perbolehkan bagi daerah dengan zona hijau,
diberlakukannya protokol kesehatan secara ketat, membatasi jumlah siswa dalam
satu kelas dan ini akan diberlakukan untuk semester genap meski banyak juga
yang merasa khawatir.
Uji coba pembelajaran pun dilakukan. Di akhir semester
satu, beberapa sekolah mencoba melakukan kegiatan belajar tatap muka atas
persetujuan orang tua murid dengan protokol kesehatan ketat, membatasi jumlah
siswa, mengurangi durasi waktu belajar mengajar, dan lainnya. Akan tetapi
selain tidak efektif, kegiatan ini justru menjadi klaster baru untuk penyebaran
virus covid-19. Kekhawatiran itu pun menjadi kenyataan, kurva penderita covid-19
bukannya semakin menurun, justru semakin melonjak naik.
Klaster-klaster baru mulai bermunculan. Kebijakan PSBB
(Pembatasan Sosial Berskala Besar) ternyata belum sanggup membendung bencana
wabah covid-19. Begitu pula dengan kebijakan new normal yang dipaksakan sebelum
wabah mereda. Keputusan atas diperbolehkannya belajar tatap muka pun menuai
kritik dan pada akhirnya dicabut. Pasalnya nyawa peserta didik bukanlah bahan
uji coba. Beberapa sekolah yang telah mencoba melaksanakan kegiatan belajar mengajar
dengan tatap muka kembali memberlakukan pembelajaran online.
Vaksin Diharapkan Menjadi Solusi
Dengan berbagai kendala, baik yang dialami siswa,
orang tua dan guru maka daring menjadi satu-satunya solusi agar siswa tidak
ketinggalan pelajaran. Vaksin covid-19 pun seakan menjadi angin segar dan bukan
hanya untuk bidang pendidikan saja. Sebagian besar masyarakat pun berharap
bahwa vaksin dapat menjadi pawang bagi virus covid-19 yang sudah tidak bisa
dikendalikan.
Bisakah vaksin dijadikan sebagai solusi untuk
memusnahkan makhluk tak kasat mata ini? Sebagai pembelajaran yang sudah-sudah.
Saat awal kali munculnya virus covid-19 berbagai peremehan di Indonesia mulai
dari pejabat hingga masyarakat umum menjadikan Indonesia lengah atas
kebijakan-kebijakan yang diambil. Begutu pula saat awal mula virus menyebar di
Indonesia atau pun new normal yang diterapkan. Jangan sampai dengan adanya
vaksin, masyarakat dan pemerintah kembali terlena.
Padahal vaksin belumlah menjadi solusi. Pada dasarnya
vaksin hanyalah sebagai salah satu cara untuk membangun sistem kekebalan tubuh
dengan harapan dampak yang disebabkan oleh virus covid-19 tidak terlalu parah.
Hal ini berarti virus akan tetap ada dan terus menginveksi. Bukan hanya itu,
bagi pemilik imun yang dari awal sudah lemah misal bayi, orang tua, orang sakit
dan lain-lain akan tetap memiliki resiko tinggi terhadap virus ini. Belum lagi
kabarnya virus covid-19 telah mengalami mutasi dengan dampak yang berbeda-beda
sehingga vaksin yang telah ditemukan juga belum tentu memberikan efek yang
besar apalagi untuk jangka pendek dan berkaitan dengan proses belajar mengajar
tatap muka yang segera ingin diselenggarakan.
Islam Memberi Solusi
Dalam Islam sudah ada sulusi praktis, bahkan hal ini
pernah diterapkan pada masa Khalifah Umar. Karantina virus menjadi suatu
keharusan. Virus covid-19 menjadikan manusia sebagai inang dan menyebar dengan
mudahnya. Sehingga perlu di adakn tes secara akurat, luas dan masif tanpa biaya
karena pendanaan yang seperti ini dapat di peroleh dari pengelolaan Sumber Daya
Alam yang melimpah dan dari aset negara lainnya yang dikelola secara tepat
tanpa tergantung pajak dan hutang. Dengan begitu dapat diketahui dan dipisahkan
antara orang yang sehat dan sakit sehingga orang-orang yang sehat dapat
beraktivitas seperti biasa sedangkan yang sakit di obati hingga sembuh. Hal ini
akan semakin mudah jika dilakukan sejak awal wabah dan memblokir segala akses
yang dapat menyebabkan virus menyebar.
Di sisi lain, Islam melalui penerapan syariah kaffah
oleh negara akan memperkuat asupan gizi warga negara nya. Memproteksi
masyarakat dari peredaran makanan yang tidak sehat. Bukan hanya halal tapi juga
dijamin kualitas kesehatannya. Negara akan mempermudah setiap warga negara
mengakses kebutuhan asupan hariannya melalui kestabilan harga dan pendapatan
yang tinggi. Bagi mereka yang kekurangan (fakir-miskin), negara akan memberikan
subsidi dalam bentuk yang dibutuhkan seperti uang tunai, modal usaha dll.
Negara Khilafah juga menjamin pemberian layanan
kesehatan dan pendidikan gratis atas setiap warga negaranya baik muslim maupun
non muslim. Sehingga rakyat tidak semakin tertekan secara mental apalagi pada
saat wabah. Sebab tekanan mental yang diakibatkan kesulitan hidup dapat
menimbulkan stres dan menurunkan imun seseorang. Bahkan penjaminan layanan
kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma juga diberlakukan diluar wabah.
Sebagaimana yang pernah tercatat dalam lintasan sejarah di era Kekhilafahan.
Sungguh, hanya dengan kembali pada Syari’at kaffah dan
berharap pada Khilafah saja kita dapat keluar dari wabah covid-19. Wallahu
a’lam bish-showab