Oleh : Ummu Faiza Balqis
(Pengemban Dakwah)
Di setiap penghujung tahun, banyak kaum Muslim di berbagai tempat menggelar agenda muhâsabah (introspeksi diri) yang biasa diisi dengan zikir,doa,juga taushiyah.
Penghujung tahun 2020 ini, karena masih dalam suasana Pandemi Covid-19, kegiatan muhasabah banyak diselenggarakan secara online.
Semestinya muhâsabah bisa dilakukan kapan saja. Imam Mawardi dalam kitab Adâb ad-Dunyâ wa ad-Dîn berkata, “Seorang Mukmin hendaknya melakukan muhâsabah pada malam hari atas amal yang dikerjakan pada siang hari. Sebabnya, waktu malam lebih menenangkan pikiran.”
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk Hari Esok (Akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan (TQS al-Hasyr [59]: 18).
Keselamatan seorang Muslim di dunia dan akhirat salah satunya ditentukan seberapa sering dan mendalam muhâsabah yang ia lakukan. Dengan muhâsabah ia dapat mengukur apakah perbuatannya dilakukan ikhlas karena Allah SWT, ataukah karena mengharapkan apresiasi dan pujian dari manusia, atau agar ia mendapat dukungan dan keuntungan dari mereka. Seorang Mukmin yang mengharap surga-Nya akan berusaha sekuat tenaga meluruskan tujuan amalnya untuk merengkuh mardhatilLâh.
Muhâsabah memiliki banyak kebaikan. Di antaranya: Pertama, menyadari dosa-dosa diri sehingga memunculkan keinginan melakukan perbaikan dan bertobat kepada Allah SWT. Tanpa muhâsabah, seorang hamba selalu merasa suci dan benar sehingga tak ada keinginan untuk bertobat.
Kedua, memunculkan rasa takut kepada Allah SWT sehingga mencegah diri dari sikap melalaikan hukum-hukum-Nya dan menelantarkan amanah.
Ketiga, mendorong diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan meninggalkan kemungkaran.
Setiap Muslim wajib melakukan introspeksi atas keadaan umat pada hari ini, yang telah mengabaikan hukum-hukum Allah SWT secara keseluruhan.
Pada hari ini kita melihat darah umat amat murah. Bisa ditumpahkan kapan saja tanpa ada yang membela. Hukum-hukum Islam dimusuhi. Bahkan ada seruan agar umat Muslim mengganti ayat-ayat suci dengan ayat-ayat konstitusi. Kita juga menyaksikan orang-orang shalih dikriminalisasi. Sebaliknya, pelaku kriminal diberi hati bahkan banjir grasi dan amnesti.
Jika seorang Muslim bisa menangis ketika diingatkan dengan dosa kepada orangtua, atau shalat yang kurang khusyuk, atau buruknya adab kepada suami atau istri, semestinya ia juga bisa menangis melihat masih maraknya muamalah ribawi, hukum warisan penjajah diterapkan, apalagi sistem politik Islam dimusuhi dan dicampakkan.
Jika hati merasa gelisah dan khawatir saat zakat belum ditunaikan, semestinya hati pun merintih ketika sumberdaya alam yang merupakan milik umat justru diserahkan kepada pihak asing. Jika kalbu merasa takut melalaikan shalat berjamaah, harusnya muncul ketakutan yang sama jika mendukung kezaliman, memusuhi syariah Islam dan memberangus orang-orang yang memperjuangkan Islam.
Jika kita bisa melakukan muhâsabah atas dosa-dosa pribadi, kita pun harus mulai menghitung besarnya dosa kolektif karena membiarkan aturan Allah yang agung ditelantarkan. Padahal menelantarkan hukum Allah adalah dosa besar.
Jangan pula hati ini hanyut dalam muhâsabah diri, tetapi di sisi lain condong kepada para pelaku kezaliman.
Menjadi bahan introspeksi diri pula jika hati mau tergerak untuk meningkatkan amal pribadi, tetapi belum mau tergerak untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan menyerukan tegaknya syariah Islam. Sikap seperti ini yang diingatkan oleh Rasulullah saw. akan mendatangkan bencana pada umat.