Oleh: Hamsia (Komunitas Peduli Umat)
Pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020 lalu, masih menyisahkan masalah. Selain dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung mereda, hingga membuka klaster baru penularan virus. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan setidaknya ada 23 kasus dugaan politik uang pilkada serentak 2020 di Jawa Tengah (Jateng). Pelanggaran itu terjadi sejak masa tenang pada 6 Desember 2020 hingga saat hari pencoblosan.
Seperti yang terjadi di Konawe Selatan, Dilansir dalam Telisik.id, Jaringan Pemuda Pemerhati Pemilu dan Pilkada (JP3) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar demonstrasi di Bawaslu dan Gakkumdu Konawe Selatan (Konsel), Selasa (8/12/2020). JP3 menuntut agar Bawaslu dan Gakkumdu Konsel berani menuntaskan kasus temuan money politic yang terjadi di Konsel. “Kami ingin Bawaslu tagas dalam menuntaskan kasus money politic di Konsel,” tutur Korlap aksi, Irhas Saputra. Irhas menegaskan, Bawaslu Konsel harus bertindak tegas kepada Paslon Bupati dan Wakil Bupati Konsel yang kedapatan melakukan money politic. Sebab, hingga saat ini Paslon tersebut masih bebas.
Praktek politik uang memang tak akan pernah bisa dihapus dari sistem demokrasi. Sebab, sistem ini mensyaratkan kemenangan berdasarkan suara terbanyak untuk meraih suara terbanyak. Tak jarang para calon yang ingin meraih kursi kekuasaan menggunakan segala cara, hingga menggelontorkan dana besar. Memanfaatkan ketenaran dan jabatan ataupun menampakkan diri ke tengah rakyat agar dikenal.
Maka, dalam kondisi ini pemberian uang, sembako, sourvenir, dan lainnya dengan disertai janji-janji kampanye, akan mereka lakukan demi memenangkan hari rakyat. Inilah praktik kotor pemilu dalam demokrasi. Praktik ini seolah sudah menjadi tradisi dalam pemilihan pemimpin baik ditingkat daerah maupun pusat.
Bahkan, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Kemamanan (Menkopolhukam) Mahfud M.D. mengatakan “Praktik politik uang atau money politic akan tetap ada, baik dalam sistem pemilihan umum langsung atau tidak langsung.
“Kalau pilihan lansung kepada rakyat itu money politic-nya eceran, kalau lewat DPRD itu borongan. Kita bayar ke partai, selesai. Kalau ke rakyat seperti sekarang ya, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu,” kata Mahfud dalam diskusi daring “Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal” kompas.com, Sabtu (5/9/2020).
Inilah satu bukti yang harusnya membuat umat sadar bahwa demokrasi tak layak dipertahankan, praktek politik uang juga diperparah dengan penerapan ekonomi kapitalisme yang telah gagal membangun kesejahteraan untuk rakyat, termasuk dimasa pandemi. Sehingga, pemilihan pemimpin tak lagi berdasarkan kualitas dan kepribadian calon pemimpin.
Fakta bobroknya sistem demokrasi kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan agama dari kehidupan atau sekularime. Aturan Islam tidak akan pernah diberi ruang untuk mengatur negara, maka wajar jika segala cara tak peduli halal atau haram akan dilakukan sesorang demi meraih kekuasaan. Lebih parah lagi, praktik ini pasti akan melahirkan penguasa korup sebab mereka wajib balik modal yang digunakan habis-habisan saat kampanye. Rakyat pun hanya dimanfaatkan dan diperalat demi meraih kursi kekuasaan. Pemimpin yang terpilih pun bukan karena kemampuannya tetapi hasil membeli suara rakyat.
Hal ini sungguh berbeda dengan pemilihan pejabat dalam sistem Islam. Pemilihan pejabat dalam Islam didasarkan pada pandangan politik Islam yang manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat. Yakni Islam yang berasal dari Allah SWT. Islam memandang politik sebagai memelihara urusan rakyatberdasarkan ketentuan hukum syara yang rinci. Khilafah meniscayakan adanya pemilu hanya saja pemilu ini berbiaya rendah, efektif, dan efisien serta mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Pemilu dalam Islam diperuntukan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendaki rakyat dalam memimpin mereka sesuai Al Qur’an dan as sunnah. Mereka dapat memilih kepala negara (Khalifah) dan wakilnya di majelis umat melalui pemilu.
masih bebas.
Padahal jelas dalam Undang-undang terkait sanksi yang akan diberikan bagi paslon atau tim sukses paslon yang melakukan cara-cara kotor tersebut. Sebagaimana pasal Undang-undang No 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Pasal 187A ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, faktanya hukum dan sanksi dalam sistem kapitalisme ini hanyalah deretan hukum tanpa pemberlakuan bagi para pelanggarnya. Sehingga tak heran kebiasaan ini masih akan tumbuh subur dalam setiap kontestasi politik yang berlangsung maupun yang akan datang.
Dalam sistem kapitalis demokrasi “politik mahar” menjadi hal yang lumrah dalam setiap aktivitas meraih jabatan kekuasaan. Tak ayal jika, para pemangku kekuasaan yang dihasilkan merupakan para penguasa yang bermental materealistik. Kekuasaan hanya menjadi jalan memuluskan mereka meraup keuntungan semata, bukan untuk menunaikan kewajiban menjalankan amanah demi kemaslahatan rakyat.
Syariah Islam jelas mengharamkan suap-menyuap termasuk terkait dengan politik. Karena money politic hukumnya adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT. firman Allah: “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat. Dari Tsauban, dia berkata, “Rasulullah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang-orang menghubungkan keduanya.” (HR. Ahmad).
Tidak ada jalan lain untuk memotong kejahatan ini, kecuali dengan mencampakkan sistem demokrasi. Sudah seharusnya kaum muslim kembali ke sistem politik Islam yang memangkas berbagai keburukan dan kejahatan dalam sistem demokrasi. Wallahu a’lam bi shawwab.