Oleh : Neti Ummu Hasna
Banyaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak membuat banyak pemerintah di dunia memberlakukan hukuman kebiri, baik kebiri kimia maupun kebiri dengan proses operasi. Kebiri kimia sendiri dilakukan dengan serangkaian terapi obat yang dilakukan untuk mengurangi hormon seks.
Banyak negara menggunakan hukuman ini dalam berbagai kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang dianggap serius. Diantaranya negara Australia, Hungaria, Spanyol, Korea Selatan, Perancis, Rusia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, para pelaku kekerasan seksual pada anak atau predator seksual anak diperkirakan juga akan menghadapi ancaman hukuman kebiri ini. Setelah sekian lama mencari solusi penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, akhirnya pemerintah memilih opsi suntik kebiri. Presiden Joko Widodo sudah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. PP itu tertuang dalam Nomor 70 Tahun 2020 yang ditetapkan Jokowi per 7 Desember 2020.
Dikutip dari JDIH laman Setneg, Minggu, 3 Januari 2021, PP tersebut memuat tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Diharapkan dengan ditetapkannya aturan ini, bisa menekan dan mengatasi kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, juga sebagai efek jera terhadap predator seksual anak.
Hukuman kebiri di Indonesia mulai mengemuka dan mengalami pro kontra sejak tahun 2014. Para ahli kesehatan, secara medis, memaparkan banyak dampak negatif dari suntik kebiri. Suntikan yang dilakukan secara kimiawi memiliki banyak efek samping yang membahayakan penerimanya, antara lain risiko osteoporosis, anemia, melemahnya otot, dan gangguan kognitif. Sementara di satu sisi, efek suntikan hanyalah sementara, setelah itu hasrat seksual penerimanya akan kembali sebagaimana sebelumnya (suara.com/health/2016/06/09/160042).
Sebagai sebuah solusi seharusnya suatu hukuman tidak bisa berdiri sendiri. Disamping jenis hukumannya pun juga harus tepat dan benar-benar sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Kejahatan seksual semakin marak bukan tanpa sebab. Sehingga akar masalahnya tak kalah penting juga harus dipikirkan dan diselesaikan.
Dalam sistem kapitalisme, kebebasan begitu dijunjung tinggi, termasuk kebebasan berperilaku. Kebahagiaan hanya diukur dari sudut pandang materi atau yang bersifat duniawi. Pergaulan bebas, maraknya pornografi dan pornoaksi, munculnya berbagai macam perilaku penyimpangan seksual merupakan buah penerapan sistem kapitalisme. Hal ini diperparah dengan sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada keunggulan materi saja, jauh dari penanaman nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan.
Maka jika menginginkan agar seluruh persoalan kejahatan dan kekerasan seksual ini bisa selesai dengan tuntas, hendaknya kita mengambil solusi dari Islam. Karena hanya Islamlah sistem yang sempurna dan paripurna serta telah terbukti mumpuni untuk menyelesaikan seluruh permasalahan manusia.
Dalam mengatasi persoalan kejahatan seksual syariat Islam hadir dengan dua fungsi, yaitu preventif dan kuratif. Fungsi preventif tercermin dari sistem pergaulan sosial (nizhamul ijtima’iy) yang begitu lengkap, mencakup pengaturan laki-laki dan perempuan di kehidupan khusus serta di kehidupan umum (public area).
Islam memandang perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Dengan demikian syariat memiliki seperangkat mekanisme penjagaan terhadap kehormatan perempuan.
Sedangkan secara umum, Islam mengatur mulai dari penetapan batasan yang jelas akan aurat laki-laki dan perempuan, pakaian penutup aurat, kewajiban menjaga pandangan, larangan tabarruj, larangan khalwat dan ikhtilat, pengaturan safar bagi perempuan, dorongan menikah hingga pengaturan rumah tangga.
Dengan kelengkapan aturannya, Islam menutup celah aksi pornografi pornoaksi serta memastikan laki-laki dan perempuan mampu mengoptimalkan peran dalam masyarakat dengan tetap terjaga kehormatannya.
Sedangkan fungsi kuratif berupa sanksi hukum bagi siapa pun—lelaki dan perempuan—yang melanggar syariat. Sanksinya meliputi hukuman bagi lelaki yang enggan menafkahi keluarganya, hukuman bagi pembuat serta penyebar konten pornografi pornoaksi, hingga adanya hukum jilid dan rajam bagi pezina.
Demikian pula, para predator seksual akan mendapat sanksi berat berupa jilid jika dia belum menikah, dan rajam hingga mati jika dia sudah atau pernah menikah.
Sistem pergaulan tersebut tidaklah berdiri sendiri, namun ditunjang sistem lain yang diadopsi negara. Salah satunya adalah sistem ekonomi (nizhamul iqtishadiy) yang adil dan menyejahterakan.
Sistem ini memastikan kebutuhan pokok setiap warga negara terpenuhi dan para pencari nafkah mampu menafkahi keluarganya dengan baik. Dengan demikian kaum perempuan mampu mengoptimalkan peran sebagai pencetak generasi tanpa menanggung beban penafkahan dan tanpa harus banyak keluar rumah.
Begitu pula sistem pendidikannya yang berbasis akidah yang bertujuan membentuk generasi bertakwa serta menguasai iptek. Hal ini akan mencegah generasi melakukan perbuatan tercela, apalagi hingga menjadi predator seksual.
Seluruh sistem ini berpangkal pada sistem politik dan pemerintahan Islam yang diterapkan negara. Pemerintahan yang dilandasi ketakwaan, yang hadir dalam rangka menerapkan syariat Islam secara murni dan menyeluruh untuk mengatur urusan rakyatnya.
Dengannya, negara akan mampu memberikan perlindungan terbaik bagi seluruh rakyat—khususnya anak—dari faktor-faktor pemicu kejahatan seksual serta kejahatan lainnya.