Oleh : Ammy Amelia
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Hilangnya tempe dan tahu dari peredaran beberapa hari lalu, jelas menjadi topik utama di tengah masyarakat terutama kaum ibu. Awalnya, tak ada yang tahu dimana keberadaan sang tempe dan tahu. Namun usut punya usut, menghilangnya makanan sejuta umat itu disebabkan karena harga kedelai impor yang melambung tinggi.
Naiknya harga kedelai yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan tempe dan tahu, sontak membuat para pengrajinnya harus memutar otak. Bagaimana tidak, harga kedelai yang awalnya Rp 7.000 per kilogram kini sudah meningkat hingga Rp 9.200-9.500 per kilogram.
"Yang naik itu ada dua jenis yang paling banyak dipakai para pengrajin tahu kelas besar, sedang dan kecil, yaitu Grade B dan Grade C, selama dua bulan itu naik nggak kira-kira," ujar Musodik, Sekjen Sedulur Pengrajin Tahu Indonesia (SPTI), salah satu komunitas pengrajin tahu yang tersebar di daerah Parung, Jasinga, Cibinong dan Leuwiliang Kabupaten Bogor.
Dengan naiknya harga bahan baku tersebut, para pengrajin tahu merugi karena keuntungan mereka kian berkurang. Bahkan, Musodik mengatakan, 30 persen pengrajin tahu kelas kecil se-Jabodetabek sudah banyak yang berhenti produksi. Ia juga menjelaskan, libur produksi massal ini tidak hanya dilakukan oleh SPTI tetapi juga oleh pengrajin tempe dan tahu hampir di seluruh Indonesia. Dengan adanya libur produksi massal ini, pengrajin tahu berharap adanya perhatian dari pemerintah agar menekan harga kedelai segera turun. (republika.co.id, 02/01/2021)
Seolah menjadi rahasia umum, Indonesia memang telah terjebak dalam perangkap pusaran impor. Apalagi setelah disahkannya UU Ciptaker 5 Oktober 2020 lalu, yang memungkinkan Indonesia semakin getol menggencarkan kebiasaan impor dalam berbagai komoditi. Dan tidak dipungkiri, produk pertanian merupakan salah satu potensi impor terbesar.
Namun, dengan beredarnya bahan pangan impor di pasaran jelas membuat para petani lokal mengalami kerugian. Selain harus siap bersaing dengan harga pasar dunia, keberadaan produk impor pun secara perlahan mematikan hasil produksi petani dalam negeri. Padahal dengan kondisi tanah subur dan kekayaan alam yang dimiliki, bukan hal yang niscaya jika petani Indonesia mampu menghasilkan produk pertanian yang melimpah dan berkualitas.
Kebijakan impor yang digencarkan pemerintah memang membuat para petani lokal harus rela mengelus dada. Sungguh miris, dibalik nasib para petani yang kian sengsara, pemerintah justru menguntungkan para importir yang semakin leluasa mencengkram pasar-pasar yang ada di Indonesia. Hal ini jelas membentuk pola pikir masyarakat yang semakin tergantung dengan bahan pangan impor meski harganya mahal, sehingga rakyat lupa bagaimana cara menghasilkan bahan pangan sendiri di tengah negeri gemah ripah loh jinawi.
Namun inilah ciri khas sistem kapitalis sekuler. Asas kebebasan yang dianutnya, meniscayakan manusia dalam lingkaran keserakahan. Asal memiliki modal, semua aset dapat diprivatisasi. Segala hal yang mendatangkan manfaat dilakukan dengan membabi buta tanpa melihat aturan syariat. Alhasil negara yang menganut ideologi kapitalis ini hanya berorientasi pada kepuasan pribadi dan kepentingan materi. Padahal di dalam sistem Islam, mengurus kepentingan rakyat adalah kewajiban negara. Termasuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara adil dan merata. Negara harus mampu mengolah sumber daya alam secara maksimal dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat.
Islam mengatur pengelolaan lahan secara produktif. Dimana bila ada lahan yang ditelantarkan selama tiga tahun, maka negara berhak mengambil alih lahan tersebut untuk dikelola agar dapat produktif kembali. Faktanya hal tersebut mampu menjadi solusi, karena dari pengelolaan lahan yang produktif mampu membangun sumber ketahanan pangan, salah satunya dari hasil pertanian.
Alhasil, Islam akan menjadikan sebuah negara yang memiliki sistem ketahanan pangan secara mandiri, tidak bergantung kepada negara lain yang membuat rakyatnya kehilangan jati diri. Bukanlah sebuah keniscayaan bila kesejahteraan dapat dicapai oleh Islam, karena aturannya telah ditetapkan oleh Sang Penggenggam Alam. Maka, tak ada lagi alasan untuk menolak Islam sebagai aturan di seluruh aspek kehidupan.
Wallahu'alam bishawab.
Tags
Opini