Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis.
Pemerintah RI kembali menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) sejak tanggal 11 januari 2021 dan direncanakan berakhir pada tanggal 25 januari 2021. Pada tahap awal, PKM akan diprioritaskan di seluruh Provinsi di Jawa dan Bali. Kebijakan ini diharapakan mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 pada libur akhir tahun. Karena berdasarkan pengalaman, habis libur besar terjadi kenaikan kasus 25% sampai 30%. (www. Balitbangsdm.kominfo.go.id, 11/1/2021).
Masih dari sumber yang sama, dalam keterangan pers, Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) –yang dijabat oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian– Airlangga Hartanto pada Rabu (06/01) lalu, disampaikan bahwa PKM akan diterapkan di tujuh Ibukota Provinsi di Jawa dan Bali.
PKM memuat enam poin mulai dari perkantoran dengan menerapkan kerja dari rumah (WFH) sebesar 75 persen, sekolah daring, sektor esensial yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat tetap beroperasi dengan protokol kesehatan, begitu pun izin kegiatan konstruksi 100%, pembatasan ibadah hingga 50 persen, hingga pengaturan pemberlakuan pada jam operasi pusat perbelanjaan, dll.. (kompas.com, 11/01/2021)
Sementara itu salah seorang pengamat kebijakan public, Agus Pambagio, melihat pergantian istilah dari PSBB menjadi PKM itu hanya sekadar bentuk pencitraan. Ia menilai akar masalahnya adalah ketiadaan kebijakan konkret dari pemerintah dalam menangani pandemi. (cnnindonesia.com, 9/1/2021)
Seperti yang kita ketahui Bersama, pemerintah di awal kebijakannya bersikukuh tidak akan menerapkan lockdown total pada daerah yang terjangkiti wabah. Padahal, pada Maret 2020 lalu, orang yang terjangkit virus masih dalam hitungan jari dan belum menyebar ke mana-mana. Jika saja kebijakan awal pemerintah tepat, tentu lonjakan kasus dan penyebarannya yang sudah tak terkendali ini bisa diatasi.
Juga enggannya pemerintah dalam mengadakan tes massal yang sesuai standar WHO adalah kelalaian yang bisa berakibat fatal. karena tes massal dalam kondisi saat ini sangat dibutuhkan agar cepat bisa dipisahakan mana orang yang terjangkit dan mana yang sehat.
Keengganan pemerintah memberlakukan dua kebijakan strategis di atas, tidak lain adalah motif ekonomi. Pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk melaksanakan karantina wilayah, karena dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa jika diberlakukan, kebutuhan pokok rakyat ditanggung negara. Begitu pun tes massal, dengan alasan dana tak bisa dilakukan.
Sungguh, ketika kita bijak melihat dan berkenan bertindak secara obyektif. Kebijakan Khalifah atas pandemi telah terbukti mampu mengatasi seluruh wabah yang pernah terjadi di masa Kekhilafahan. Jika terjadi wabah, Khalifah dengan segera menutup daerah yang terkena wabah, sehingga daerah yang tidak terjangkiti bisa beraktivitas normal dan daerah yang terkena wabah cepat tertangani. Begitu pun tes massal, akan masif dilakukan agar segera berpisah antara yang sakit dan sehat.
Seperti apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab saat terjadi wabah Tha’un di Syam pada 18 H. Khalifah Umar memerintahkan untuk me-lockdown daerah yang terkena wabah dan langsung membuat posko-posko bantuan agar kebutuhan pokok rakyat yang terkena wabah terpenuhi.
Khalifah Umar pun mendengarkan Amar bin Ash sebagai pakar dalam menghadapi pandemi dan menginstruksikan pada rakyatnya yang ada di Syam untuk mengikuti kebijakan Amar bin Ash dengan maksimal.
Tentu semuanya didukung dengan pendanaan yang sangat baik dari negara. Negara dalam sistem islam memiliki dana yang sangat kuat karena seluruh sumber daya alam tidak diberikan kepada asing. Semua dikelola negara untuk digunakan semaksimal mungkin demi kepentingan rakyatnya, tak terkecuali dana penangana wabah seperti saat ini.
Disinilah pentingnya penerapa islam secara menyeluruh. Agar semua masalah terselesaikan tanpa meninggalkan masalah baru.
Wallahu a’lam bi ash showab.