Oleh : ummu Hanif, anggota Lingkar Penulis Ideologis
Seperti gunung, tingginya yang menjulang seakan tengah menantang langit. Sama persis dengan hutang Indonesia saat ini yang terus saja merangkak seolah menantang suatu kehancuran.
Bagaimana tidak? Data yang dipublikasikan Bank Dunia dalam laporan "Statistik Utang Internasional (IDS)" pada Senin (12/10/2020) menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar. (www.wartaekonomi.co.id, 27/12/2021)
Sungguh fakta ini adalah ironi. Gemah ripah loh jinawi nya negeri berpenduduk 262 juta jiwa ini nyatanya tetap tidak mampu mengatasi persoalan perekonomian yang kian memprihatinkan.
Kemiskinan tak kunjung berhasil terentas, pengangguran masih meroket, dan kesenjangan yang makin kentara hanyalah secuil derita yang kini dilakoni langsung oleh rakyat jelata.
Sudah menjadi kebiasaan, IMF dan ADB selalu dijadikan instrumen penyelemat tiap kali APBN mengalami defisit.
Bahkan, hutang adalah pemasok APBN terbesar kedua setelah pajak. Tidak ada kekhawatiran atau bahkan ketakutan bagaimana nasib negeri ini kedepan jika terus menerus menggantungkan hidupnya dari pinjaman.
Apalagi di jaman kapitalis seperti sekarang ini, ketika untung besar dijadikan progress kehidupan, mustahil negara negara pemasok hutang tidak mengambil dan memanfaatkan celah tersebut.
Bahkan dengan senang hati dana akan digelontorkan mengingat besarnya bunga dan kesempatan melakukan hegemoni ke calon negara jajahan.
Hal ini sudah pernah menimpa Mesir dan Tunisia. Dimana keduanya terjajah oleh Inggris Perancis lewat jalur tersebut.
Merupakan kebohongan besar, jika donor uang sebegitu besarnya dilakukan atas nama kemanusiaan dan bantuan belaka.
Selalu ada prasyarat yang musti di acc lebih dulu oleh si peminjam. Reformasi ekonomi seperti : penghapusan campur tangan pemerintah, penyerahan ekonomi Indonesia ke swasta, liberalisasi kegiatan ekspor impor, serta penguasaan hutan dan perkebunan adalah segelintir sub yang ingin mereka incar.
Yang lebih berbahaya adalah ketika tawar menawar draft UU terjadi, yang dengan itu asing bisa lebih leluasa dalam mengendalikan negara yang diduduki.
Ini baru aspek ekonomi, belum termasuk pemaksaan atas kebijakan politik. Dan perlu diingat, bahwasanya hutang tidak mungkin diberikan secara cuma cuma sebelum jelas kapasitas dan kapabilitas suatu negara dalam mengembalikannya.
Maka dengan dalih bantuan konsultan ekonomi, negara pendonor akan mengirimkan pakar ekonom untuk mengintai kekuatan sekaligus kelemahan negara yang bersangkutan.
Jadilah rahasia tersebut sebagai konsumsi publik (negara lain) yang dikemudian hari akan dimanfaatkan dalam pengajuan syarat hutang selanjutnya.
Sehingga apabila perilaku konsumtif tersebut diteruskan atau kemungkinan lain tidak ada keseriusan dalam upaya pelunasan, maka sudah pasti negara tersebut akan kehilangan kedaulatan di negaranya sendiri.
Pembangunan pun menjadi tidak lagi terarahkan demi kesejahteraan mengingat kuasa pemegang kendali sudah diambil alih.
Dalam perspektif Islam, sejatinya aktivitas hutang menghutangi adalah sesuatu yang diperbolehkan. Namun tetap dengan catatan tidak terselip bunga didalamnya.
Sayangnya, hal tersebut sulit terwujud di tengah-tengah gaya hidup kapitalis sekarang ini. Terlebih dalam konteks bernegara, dimana kemungkinan hutang selalu dilakukan dalam jumlah besar.
Untuk Indonesia sendiri, hutang bisa saja dihindari apabila konsep pengelolaan ekonomi dan kepemilikan disesuaikan dengan konsep Islam.
Pemanfaatan SDA secara totalitas oleh negara tanpa campur tangan asing/swasta dipastikan dapat membongkar kesalahan doktrin ekonom neolib bahwa Indonesia tidak bisa melakukan pembangunan tanpa hutang.
Lihat saja kekayaan emas, tambang gas alam dan mineral yang dimiliki. Semua itu melimpah ruah. Terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Jangankan berhutang untuk menutup defisit APBN, bahkan pajak pun bisa jadi terhenti pemungutannya.
Terkait pembangunan, maka perlu dilakukan pengkajian secara mendalam lebih dulu oleh pakar masing-masing tentang urgensitas infrastruktur di tengah-tengah masyarakat.
Jika penundaannya bisa menimbulkan dharar (bahaya), maka ada atau tidak adanya APBN, pembangunan harus tetap dilaksanakan dengan pemungutan pajak.
Hanya saja, dalam kacamata Islam subjek pajak tidak dipukul rata. Kewajiban dibebankan sebatas bagi golongan yang mampu.
Sifatnya pun tidak permanen/terus menerus, namun temporer sesuai kebutuhan hingga kas negara terpenuhi.
Adapun untuk infrastruktur yang tidak begitu mendesak, maka pengadaannya hanya boleh dilakukan ketika APBN mencukupi.
Pemaksaan pembangunan melalui hutang dan pajak adalah sesuatu yang tidak diperkenankan.
Dari sini jelas, bahwa Islam tidak hanya mengatur arus dana yang masuk untuk APBN, namun juga bagaimana APBN bisa dikelola sebaik mungkin demi mencegah pembangunan unfaedah secara gila gilaan.