Oleh : Melitasari
Bagai air susu dibalas dengan air tuba, pengorbanan orang tua yang tak ternilai jumlahnya dengan peluh keringat serta perjuangan untuk membesarkan dan menjadikan anaknya seorang sarjana kini berbalas duka. Hanya karena harta, anak tega gugat orang tua kandungnya.
Gugatan anak kepada ayah kandungnya senilai Rp 3 miliar di Bandung, Jawa Barat, menjadi sorotan. Selain karena nilai gugatan, perseteruan antara anak dan ayah ini juga menjadi sorotan karena melibatkan anggota keluarga kandung lainnya sebagai pengacara kasus ini.
Karena warung kelontong inilah, gugatan seorang anak kepada ayah kandungnya bermula. Deden sang penggugat adalah pemilik warung kelontong yang menyewa tanah milik almarhum kakeknya sejak 2012 lalu. Saat ini salah satu ahli waris tanah itu adalah ayah Deden, yakni R E Koswara.
Koswara dan saudaranya ingin menjual tanah itu, sehingga meminta Deden untuk menutup warungnya. Singkat cerita, Deden tidak terima. Kemudian terjadi dinamika termasuk pelaporan Deden oleh ayahnya dengan tuduhan pencurian listrik PLN untuk warungnya. Deden pun menggugat ayah dan saudaranya, serta PLN dan BPN ke pengadilan. (Kompas TV, 23/01/21).
Fenomena perselisihan antara anak dan orang tua karena masalah harta dipengaruhi oleh beberapa faktor yang memicunya. Selain akibat pemberlakuan sistem yang salah, minimnya pengetahuan tentang agama akibat sekuler yang memisahkannya dengan kehidupan telah memicu banyak problematika yang tak dapat dientaskan.
Dalam sistem kapitalis, agama tidak diberi kewenangan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Menurutnya agama hanya sebatas ritual semata dan tidak boleh berada dalam sistem negara melainkan hanya boleh dijunjung tinggi oleh masing-masing individu saja.
Sehingga ilmu agama tak dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan.
Hukum waris adalah salah satu syariat yang kerap kali menjadi persoalan diantara keluarga lantaran kurangnya pemahaman dan pengaturannya yang tidak sesuai syariat. Anak gugat orang tua karena masalah harta ini menganggap tanah yang ia tempati adalah warisan padahal orang tuanya belum meninggal. Hal ini menjadi bukti kapitalis telah mengubah pola pikir generasi bermental materi.
Menjadikan asas manfaat sebagai jalan satu-satunya untuk meraih kemaslahatan adalah prinsip dasar kapitalisme. Tak memperdulikan siapa yang menjadi lawan asal apa yang dia inginkan bisa ia dapatkan. Begitu banyak keluarga korban dari pemberlakuan sistem salah ini.
Padahal Islam sebagai agama yang sempurna pernah berhasil memberi keamanan dan ketahanan untuk keluarga bahkan negara hingga lebih dari 13 abad lamanya. Hal itu dikarenakan sistem dan pengaturan terhadap segala aspek kehidupannya menggunakan aturan pencipta yang sesuai dengan fitrah manusia.
Cara pandang masyarakatnya bukan terhadap materi ataupun dunia, melainkan pada pencapaian terhadap keridhoan Allah ta'ala. Tak ada yang lebih berharga selainnya, sebab kebutuhan terhadap harta dan kebutuhan dasarnya telah terjamin oleh negara sebagai institusi yang mengurusinya.
Sehingga tidak ditemukan kasus tentang perselisihan antara anak dan orang tua karena harta. Sebab sedari kecil anak ditanamkan rasa hormat dan patuh terhadap orang tua dengan dipenuhi kebutuhan akan pendidikannya terutama dalam hal ilmu agama. Wallahu'alam bishawab.
Tags
Opini