Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
Setelah ‘Anak Pak Lurah’, Kini Muncul Istilah ‘Madam’ yang Diduga Petinggi PDIP. Tagar Madam Bansos menjadi salah satu trending topic Twitter pada Kamis (21/1/2021) malam. Warganet juga penasaran siapa yang dimaksud Madam Bansos itu.
Sebelumnya, dua politisi PDI Perjuangan disebut-sebut menerima kuota terbesar terkait proyek bansos untuk wilayah Jabodetabek. Dilansir dari laporan investigasi Koran Tempo edisi Senin 18 Januari 2021, mereka adalah Herman Hery dan Ihsan Yunus. Total kuota proyek bansos yang diduga diterima keduanya mencapai Rp3,4 triliun. [idntimes.com]
KPK menggeledah lima perusahaan penyedia bantuan social penanganan Covid-19 di Kementrian Sosial, pekan lalu. Kelimanya adalah PT Anomali Lumbung Artha, PT Famindo Meta Komunika, PT Mesail Cahaya Berkat, PT Junatama Foodia Kreasindo, dan PT Dwimukti Graha Elektrindo.
KPK mendapati bahwa Juliari menerima suap sebesar Rp 17 miliar dari para pengusaha penyedia bantuan social. Uang itu disinyalir berasal dari potongan Rp 10 ribu per paket. [Harianaceh.co.id 19/01/2021]
Masyarakat yang kini sedang terpuruk dikarenakan pandemic tak kunjung reda, dana bansosnya pun diembat penguasa yang membuat rakyat semakin menderita. Ibarat ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Kasus korupsi dana bansos Covid ini semestinya menjadi penegas bahwa korupsi bukan hanya dilakukan oleh oknum tapi secara sistemik terjadi. Jika kita telaah lebih dalam, akar permasalahan korupsi di lingkungan pejabat adalah akibat mahalnya biaya demokrasi.
Sungguh, penguasa yang dilahirkan sistem demokrasi adalah mereka yang berorientasi pada kursi dan kuasa. Sehingga, bukannya memberikan kemaslahatan pada umat, yang ada malah bekerja sama untuk merampok harta umat. Lembaga pemberantasan korupsi pun tak cukup ampuh menindak pelaku apalagi bila diharapkan menciptakan iklim anti korupsi.
Oleh karena itu, mengandalkan lembaga untuk memberantas korupsi tidaklah akan membuahkan hasil. Karena korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi. Sehingga, jika ingin mencabut korupsi, kita harus mencabut akarnya terlebih dahulu, yakni sistem demokrasi.
Berbeda halnya dengan Demokrasi. Islam telah memiliki mekanisme dalam upaya pemberantasan bahkan pencegahan korupsi. Pertama, dengan penanaman mental individu yang bertakwa. Sehingga pejabat terpilih pastilah memiliki karakter manusia yang bertakwa yaitu amanah, jujur, bertanggung jawab, dan lain-lain.
Kedua, sistem kerja Lembaga yang tidak rentan korupsi. Yakni dibuatnya Badan Pengawasan Keuangan. Dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Khilafah Syekh Abdul Qodim Zallum menyebutkan, dalam sistem Islam akan ada badan pengawasan/pemeriksaan keuangan untuk mengetahui apakah pejabat tersebut melakukan kecurangan atau tidak.
Ketiga, gaji yang cukup. Terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya akan menutup celah potensi terjadinya korupsi. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersiernya. Dan yang keempat adalah penegakan sanksi yang menjerakan. Sanksi bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, dan cambuk hingga mati.
Itulah cara Islam dalam memberantas korupsi. Oleh karenanya, jangan pernah berharap korupsi akan bisa diberantas dalam sistem demokrasi. Karena justru sistem demokrasilah yang menyuburkan korupsi itu sendiri. Maka, satu-satunya jalan dalam memberantas korupsi hingga akarnya adalah menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam Bi Ash-shawab
Tags
Opini