OLEH : HJ PADLIYATI SIREGAR ,ST
Tagar Madam Bansos menjadi salah satu trending topic Twitter pada Kamis (21/1/2021) malam. Madam Bansos disebut-sebut sebagai petinggi PDI Perjuangan yang diduga menerima bagian terkait kasus suap bansos. Warganet juga penasaran siapa yang dimaksud Madam Bansos itu.
Menanggapi kabar tersebut, Plt Jubir Bidang Penindakan KPK Ali Fikri mengatakan, pihaknya bakal mendalami siapa yang disebut Madam Bansos itu.
"Segala informasi berkembang yang kami terima termasuk dari media yang ada hubungan dengan perkara yang sedang dilakukan penyidikan ini, pada prinsipnya tentu akan dikembangkan lebih lanjut dengan mengkonfirmasi kepada para saksi," kata Ali kepada IDN Times, Kamis (21/1/2021).(IDN Times)
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mendesak lembaga antirasuah untuk segera menindaklanjuti informasi perihal dugaan keterlibatan politikus dalam perkara yang menjerat eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
"ICW mendesak KPK untuk menindaklanjuti temuan-temuan yang saat ini berkembang di tengah masyarakat," ucap Kurnia.
Menurut dia, hal tersebut penting sebagai bentuk keseriusan KPK dalam menangani suatu perkara. Sebab, ia berpendapat bahwa KPK saat ini terkesan sulit memproses politikus yang berasal dari partai penguasa.
Ia lantas memberi contoh dalam penanganan perkara dugaan korupsi penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 yang menjerat eks kader PDIP, Harun Masiku. Hingga saat ini, ujar Kurnia, KPK tidak kunjung menggeledah kantor PDIP yang sebelumnya direncanakan untuk disegel.
"Kejadian ini menjadikan publik khawatir, KPK hanya mampu membongkar, namun tidak menuntaskan praktik korupsi bantuan sosial yang telah melibatkan mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara," pungkasnya.(CNN Indonesia)
Publik perlu mengingat beberapa kasus korupsi yang masih terekam pada ingatan antara lain kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang diperkirakan negara mengalami kerugian Rp13,7 triliun, kasus PT Asabri Rp10 triliun, kasus Pelindo II Rp6 T, kasus Bupati Kotawaringin Timur dengan total kerugian hingga Rp5,8 triliun dan 711.000 dolar AS, kasus BLBI Rp4,58 triliun, kasus E-KTP yang menyeret mantan Ketua DPR Setya Novanto senilai Rp2,3 triliun, dan masih banyak kasus megakorupsi lainnya. (kompas.com, 17/01/2020).
Dengan kinerja saat ini,akankah KPK menindaklanjuti temuan mengalirnya dana bansos hingga ke pucuk tertinggi elite partai? Atau hanya berhenti pada bawahan saja sebagaimana kasus-kasus yang sudah berlalu? Petinggi penerima uang korupsi seakan sosok yang tak boleh dan tidak bisa disentuh.
Inilah peliknya korupsi di negeri demokrasi. Kasus besar mudah menguap. Kasus kecil gampang disergap. Padahal, terungkapnya kasus besar biasanya bermula dengan menguak kasus dibawahnya. Namun, taring KPK belumlah setajam singa. Yaitu, memberangus semua yang terlibat tanpa pandang bulu.
Suburnya tindak korupsi di suatu negeri tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi.
Di Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang korup, tetapi juga menghasilkan para pejabat selevel menteri juga korup. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah. Pangkal masalah itu semua bersumber dari sistem yang masih diterapkan di negeri ini yaitu demokrasi.
Demokrasi punya cacat bawaan yang sampai kini sulit diperbaiki. Sejak zaman filsuf Yunani Kuno,cacat bawaan itu sudah dideteksi. Realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi. Bahkan standar baik-buruk dan terpuji-tercela diserahkan pada manusia.
Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah. Demokrasi juga melahirkan politik transaksional, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan adalah kekuatan tertinggi yang menentukan benar dan salah.
Sementara itu, ketika benar dan salah, sah dan tidaknya diserahkan kepada rakyat, bukan hukum syara’ (Islam), dampak yang paling serius adalah tidak adanya patokan yang baku. Karena itu, salah dan benar, sah dan tidak itu bisa berubah. Semuanya ditentukan kepentingan.
Di sinilah pangkal lahirnya transaksi-transaksi politik. Akhirnya, tidak ada teman yang abadi dalam politik demokrasi, tetapi kepentingan abadi.
Pencegahan Korupsi dalam Islam
Korupsi dalam paradigma syari’ah Islam disebut dengan perbuatan khianat, yang mencerminkan perilaku munafik dalam prespektif Islam. Orang yang melakukan korupsi disebut khaa’in, termasuk didalamnya adalah penggelapan dan penyelewengan uang yang diamanatkan kepada seseorang.
Di dalam Islam, aktivitas korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS Al Baqoroh ayat 188)
Syari’ah Islam dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi baik peran pencegahan (preventif) maupun dalam segi penindakan atau pemberantasan (kuratif).
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut paradigma syari’ah Islam sebagai berikut :
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan Integritas, bukan berasaskan egoisme yang pada akhirnya berujung pada korupsi,kolusi, dan nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur wajib memenuhi kriteria yang individunya berkepribadian islam (syakhsiyah islamiyah).
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda “ Barangsiapa memperkerjakan seseorang karena faktor suka atau hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin”.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin khothob selalu memberikan nasihat kepada bawahannya “ Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok, kalau kamu menundanya pekerjaannya akan menumpuk...’’
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya , sebagaimana Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, “Cukupilah para pegawai mu, agar mereka tidak berkhianat”.
Keempat, Islam melarang menerima suap atau hadiah atau dalam istilah korupsi dikatakan gratifikasi bagi para aparat negara sebagai sabda Nabi “Barangsiapa yang sudah menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.’’ (HR.Abu Daud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi Saw berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa suap adalah haram dan suap yang diberikan kepada hakim adalah kekufuran. (HR.Ahmad)
Kelima , adanya keteladanan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka disini pemimpin juga memiliki peran besar untuk menjadi teladan yang baik bagi umatnya atau masyarakatnya.
6.Penerapan sanksi yang tegas, pusat pemberantasan korupsi dalam Islam terletak pada sikap tegas penguasa, yakni oleh Khalifah seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW, termasuk pada keluarganya sendiri.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra.
Rasulullah saw berkhotbah, "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan, namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah, maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Disinilah kita harus meyakini bahwa akibat seluruh problematika yang ada adalah karena tidak mau diterapkannya aturan Allah dalam kehidupan. Tanpa cara ini, pemberantasan korupsi hanya akan ada di permukaan atau kulitnya saja.
Wallahua’lam bi showwab.
Tags
Opini