Oleh : Sisi Yanti, S.E
Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Tidak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. (Republika, 2020)
Belum lagi ketika virus Corona merebak di Indonesia pada awal tahun 2020 membuat negara Indonesia memperbesar utang luar negerinya. Tahun 2020 menorehkan catatan pahit dalam buku utang Indonesia. Pemerintah menarik utang yang besar guna meredam anjoknya ekonomi akibat wabah Covid-19 yang merebak dari Wuhan China akhir 2019. Pada masa pandemi, pemerintah harus menggelontorkan belanja negara yang lebih besar dari pendapatannya.
Sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit di atas tiga persen, sesuai UU Nomor 2 Tahun 2020. Kementrian keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039, 2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan adanya defisit yang besar, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan APBN lainnya, termasuk melalui utang. (viva.co.id, 2020)
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, utang yang dibuat di tengah masa krisis untuk selamatkan rakyat.
"Makanya ada saja orang yang nyinyir ke saya itu utang-utang. Ya enggak apa-apa, wong itu utang untuk selamatkan jiwa seluruh Republik Indonesia," ujar Sri, Senin, 2 November 2020.
Utang Bukan Solusi
Langkah Pemerintah mengobral utang untuk mendapatkan dana membiayai pandemi Covid-19, dalam kacamata efisiensi, banyak celahnya. Sebab, masih ada alternatif pembiayaan bencana Covid-19 selain menerbitkan utang. Pemerintah, misalnya, dapat meningkatkan penghematan anggaran dari pos-pos yang tidak terlalu urgen. Pemerintah sendiri mengatakan dapat menghemat Rp 190 triliun dari total kebutuhan dana yang mencapai Rp 405,1 triliun. Jika Pemerintah serius, masih banyak pos anggaran yang sebenarnya tidak terlalu urgen yang dapat dihemat.
Selain itu, Pemerintah dapat menunda atau bahkan membatalkan belanja modal yang tidak mendesak dilakukan. Pada APBN 2020, total belanja modal mencapai Rp 187 triliun. Peruntukan belanja modal tersebut antara lain untuk proyek-proyek infrastruktur, seperti jalan, bandara, pelabuhan, dan kereta api. Anggaran tersebut juga mencakup anggaran pemindahan ibukota. Secara kumulatif, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, anggaran pemindahan ibukota sekitar Rp 466 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 19,2 persen atau sekitar Rp 89,2 triliun bersumber dari APBN. Sisanya dari swasta dan kerja sama Pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Dalam situasi seperti saat ini, rencana pemindahan ibukota bukan lah hal yang bersifat penting dan mendesak.
Peningkatan pembiayaan lewat utang juga akan berdampak buruk pada beban keuangan negara. Pasalnya, anggaran APBN untuk membayar bunga akan semakin besar. Pada APBN 2020, biaya untuk membayar bunga utang mencapai Rp 295 triliun. Tentu yang akan membayar utang-utang tersebut adalah rakyat yang dipungut Pemerintah lewat pajak dan non-pajak.
Dampak negatif lainnya adalah pembayaran cicilan bunga utang tersebut akan menambah defisit transaksi berjalan sebab Pemerintah harus rutin membayar bunganya dalam bentuk dollar AS. Dengan demikian, nilai tukar rupiah akan semakin tertekan.
Sistem Pembiayaan dalam Islam
Dalam perspektif Islam, pos pendapatan dan pengeluaran anggaran telah ditetapkan oleh syariah. Besar nilainya diserahkan kepada ijtihad Khalifah. Ia dapat menetapkan besaran nilai untuk masing-masing pos penerimaan dan pengeluaran dalam setiap tahunnya.
Sebagaimana halnya, APBN dalam sistem kapitalisme, defisit anggaran juga berpotensi terjadi pada APBN negara Islam. Meskipun dalam konteks Indonesia, jika menggunakan syariah Islam maka potensi pendapatan negara akan sangat besar, terutama dari pos harta milik umum, seperti sumberdaya alam yang dikelola oleh negara.
Ketika negara mengalami defisit, maka terdapat tiga sumber pembiayaan yang dibenarkan, yaitu: mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi untuk negara, mengenakan pajak atas kaum Muslim, dan mencari pinjaman.
Sumber pembiayaan lainnya adalah melalui pajak yang ditarik dari penduduk muslim yang kaya. Penggunaan pajak tersebut dilakukan untuk membiayai jihad, membayar gaji pegawai, menyantuni fakir miskin, membangun infrastruktur vita dan menangani bencana.
Meskipun demikian, pajak baru boleh diberlakukan jika kas negara tidak cukup untuk membiayai dan bantuan sukarela (tabarru’at) yang diberikan kaum muslim tidak memadai.
Adapun pembiayaan melalui pinjaman harus bebas dari bunga dan syarat yang merugikan negara. Keduanya haram menurut ajaran Islam. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dari negara dan lembaga-lembaga asing, seperti yang lazim di Indonesia, diharamkan. Sebab, mereka mengenakan bunga pada setiap pinjaman tersebut. Mereka juga mengenakan berbagai syarat yang kenyataannya telah menjadi tunggangan untuk memasukkan kepentingan-kepentingan mereka. Akhirnya, negara dipaksa tunduk pada kemauan mereka. Hal ini juga dilarang di dalam Islam, sebab orang-orang kafir tidak boleh menguasai kaum muslim.
Adapun dalam penanganan bencana, negara sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurus rakyat harus mengerahkan segala potensinya untuk mengurus rakyat yang terkena bencana. Oleh karena itu, di dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Khilafah, terdapat pos pengeluaran yang dikhususkan untuk penanganan bencana. Pos bencana ini mencakup pembiayaan segala bencana yang menimpa rakyat seperti gempa, topan, kelaparan, dan semisalnya. Sumber dananya berasal dari Pos Fai dan Kharaj dan Pos Harta Milik Umum. Jika anggaran tersebut tidak mencukupi alias negara mengalami defisit, kekurangannya diambil dari kaum muslim, melalui pungutan pajak.
Penarikan pajak untuk membiayai bencana seperti kelaparan, gempa bumi, banjir dan penganan wabah merupakan hal legal dalam pandangan Islam. Sebabnya, syariah telah memerintahkan kaum Muslim untuk memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang kesulitan dan menyelamatkan orang dari bahaya.
Pada faktanya, penanganan bencana tersebut membutuhkan penanganan yang cepat sehingga harus negara dituntut untuk mengumpulkan dana dari kaum muslim dengan segera. Namun, jika dikhawatirkan terjadi dampak buruk, misal karena penanganan bencana tersebut terlambat karena harus menunggu penarikan pajak tadi, maka terlebih dulu negara dapat mencari pinjaman. Setelah itu, utang tersebut dilunasi dari pajak yang dipungut dari kaum muslim tadi.
Hal tersebut sejalan dengan perintah Nabi saw. untuk meniadakan madharat. Nabi saw. bersabda,
“Tidak boleh ada bahaya dan menyebabkan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Menunda penanganan hingga dana terkumpul jelas akan mengakibatkan madharat. Karena itu dalam kondisi tersebut negara harus berutang untuk menghilangkan bahaya tersebut.
Meskipun demikian, pinjaman tersebut tetap harus sesuai koridor syariah sebagaimana yang disebutkan di atas. Salah satu alternatif yang untuk mendapatkan utang tersebut adalah menerbitkan surat utang tanpa bunga kepada kaum Muslim.
Terakhir, dalam pengelolaan anggaran tersebut, Khalifah dan para pejabat negara tetap wajib terikat pada syariah Islam, seperti tidak boleh menggelapkan anggaran, menerima suap atau hadiah dari pihak lain. Tidak ada diskresi hukum untuk pejabat yang melanggar aturan, meskipun dengan alasan untuk memangkas birokrasi di saat bencana.
Walkahu a’lam bishawab