Oleh : Durothul Jannah
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Menjadi sebuah rahasia umum, jika setiap keluarga memiliki permasalahan atau persoalan. Mulai dari persoalan kemiskinan, pengangguran, kekerasaan dalam rumah tangga, perceraian, perselingkuhan, pergaulan bebas anak, LGBT dan lain sebagainya. Semua persoalan tersebut mewarnai berita pagi dan petang di negeri yang mayoritas muslim ini.
Tentu sebagian kaum muslim merasa resah dan gelisah dengan persoalan-persoalan tersebut. Berbagai solusi dicari dengan maksimal yang akhirnya disimpulkan bahwa persoalan-persoalan tersebut terjadi akibat penerapan sistem sekuler, dimana aspek agama tidak dilibatkan dalam kehidupan.
Dari kesadaran ini, maka keluarga muslim seharusnya memiliki kesadaran bahwa agama harus diterapkan di seluruh aspek sebagai wujud keimanan terhadap al-Qur'an, sumber segala aturan. Sebagai wujud cinta pada yang membawa risalahnya yaitu baginda Rasul Saw.
Namun, di tengah-tengah kesadaran yang seharusnya diperjuangkan, justru disuguhkan kabar sebagaimana dilansir dalam media online berikut https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/1637-petaka-radikalisme-keluarga.
Dalam berita tersebut dinyatakan bahwa menumpas teroris hingga akarnya memang pekerjaan panjang. Kita diingatkan lagi akan berlikunya pekerjaan itu lewat kejadian di Sibolga, Sumatra Utara. Polisi berhasil menangkap Abu Hamzah yang merupakan anggota jaringan terduga teroris RIN alias Putra Syuhada (PS) yang lebih dulu ditangkap di Lampung. Namun, penangkapan Abu Hamzah itu juga menyisakan cerita lebih mengkhawatirkan. Dalam penangkapan itu, istri Abu Hamzah tewas dengan meledakkan diri. Menurut polisi, sang istri selama ini dikenal sebagai sosok yang cukup radikal. Kejadian itu mengingatkan akan serangan bom di Surabaya yang dilakukan Dita Oepriarto dan keluarganya. Sang ayah membagi tugas kepada istri dan anak-anaknya untuk ikut terlibat dalam peledakan bom di rumah ibadah itu. Aksi tersebut menjadi gambaran pertama pada bangsa ini akan kuatnya doktrin terorisme.
Ibu yang memiliki karakter alami sebagai pelindung yang lembut bisa menjadi tercuci otaknya. Ia tidak saja merestui pembantaian, tetapi justru membuat anak-anaknya menjadi serdadu teroris. Doktrin radikalisme dan terorisme dalam keluarga ini pula yang membuat jaringan teroris makin sulit ditumpas, sebab sejatinya keluarga ialah pihak pertama yang mampu mengendus dan juga menangkal pemikiran radikal. Ketika istri juga ikut terdoktrin, petaka paham radikal pun jadi berlipat ganda sebab sekali lagi, bukan sekadar menutupi dan merestui, terlibatnya istri akan meruntuhkan benteng terakhir perlindungan bagi anak-anak.
Kita bersyukur, dalam kejadian di Sibolga, anak yang juga berada di dalam rumah tidak ikut menjadi korban. Meski begitu, tetap perlu dipelajari akan kemungkinan anak menjadi korban doktrin. Dua kejadian tersebut semakin menegaskan pola yang kini diterapkan jaringan terorisme. Pola yang melibatkan keluarga tentunya menunjukkan bahwa bentuk doktrin yang semakin memiliki banyak wajah hingga dapat masuk ke berbagai gender dan usia. Pola inilah yang tentunya harus semakin diwaspadai pihak kepolisian ataupun setiap warga masyarakat. Kita tentu saja mengapresiasi kinerja kepolisian yang sudah berhasil melacak jaringan RIN di Lampung dan juga di Sibolga. Polisi jelas harus terus melakukan pengejaran sel-sel teroris yang masih ada. Di samping itu, polisi harus mempelajari dan memetakan doktrin yang melibatkan keluarga tersebut. Dengan begitu, program penanggulangan terorisme dapat lebih tepat dan menyeluruh. Di luar itu, tentunya penumpasan teroris tetap tidak akan tercapai tanpa kepedulian masyarakat.
Krusialnya peran keluarga besar dan warga sekitar sesungguhnya juga ditunjukkan dalam kasus di Lampung. Kepolisian dapat mengendus keberadaan terduga teroris tersebut berkat laporan orangtua yang resah akan sikap radikal sang anak. Keberanian dan kewaspadaan sikap keluarga seperti itu pantas diteladani. Setiap anggota keluarga memang harus menyadari bahwa ketidakacuhan akan bibit sikap radikalisme membawa petaka bagi orang banyak. Kondisi yang tidak dapat lagi diatasi secara internal pun sudah sepantasnya memberikan kepercayaan kepada pihak berwenang. Hanya dengan kerja sama warga dan pihak kepolisian inilah terorisme dapat ditumpas dari bumi pertiwi.
Realita ini hadir di tengah-tengah keluarga muslim yang sedang fokus pada agamanya dan ingin mengembalikan semua persoalan pada agamanya. Disuguhkan narasi-narasi radikalisme yang memicu ketakutan sekaligus menjadi penghalang dalam upaya mengenali agama dan implementasinya dalam lingkup keluarga. Yang tentunya sebagian keluarga muslim seharusnya tetap teguh memegang agama dalam segala aspek untuk memecahkan permasalahannya. Wallahua’lam bishawab.
Tags
Opini