Ketika Banjir Meluas, Rakyat Butuh Solusi Tuntas




Oleh : Ratna Az-Zahra

Di awal tahun 2021, Indonesia sudah mengalami banyak sekali musibah bencana alam, salah satunya bencana banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan beberapa hari yang lalu, seperti yang di beritakan.


Suara.com (15/1/2021) melansir, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menegaskan bahwa banjir besar di Kalimantan Selatan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan akibat rusaknya ekologi di tanah Borneo.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah.
"Banjir (2021) kali ini adalah banjir terparah dalam sejarah Kalimantan Selatan yang sebelumnya," kata Kis saat dihubungi Suara.com, Jumat (15/1/2021).
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah.
"Ini menunjukkan daya tampung daya dukung lingkungan di kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis, sudah sering kita ingatkan, dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit," tegasnya.
Sebelumnya BPBD Kalsel merilis data harian hingga per tanggal 14 Januari 2021. Tercatat ada 67.842 jiwa yang terdampak dari total 57 peristiwa banjir sejak awal tahun. Khusus untuk bangunan rumah warga yang terdampak sebanyak 19.452 unit.
Akumulatif jumlah warga terdampak banjir ini masih didominasi dari Kabupaten Tanah Laut, dengan jumlah sebanyak 34.431 jiwa. Lalu, disusul Kabupaten Banjar yang tercatat sebanyak 25.601 jiwa. Sedangkan, sisanya berasal Kota Banjarbaru, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Tapin, dan sekitarnya.
Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor juga sudah mengumumkan wilayahnya kini berstatus tanggap darurat bencana banjir melalui Surat Pernyataan Nomor: 360/038/Bpbd/2021 tertanggal 14 Januari 2021.


Banjir mungkin sudah menjadi hal yang biasa bagi kota yang tidak banyak hutan, tapi jika banjir terjadi di kawasan yang dahulunya banyak sekali hutan itu yang di pertanyaankan.  Banjir yang cukup parah yang terjadi di Kalimantan Selatan itu terjadi bukan karena cuaca ektrim tapi di sebabkan karena rusaknya ekologi di tanah Borneo, pohon-pohon di hutan yang seharusnya menjadi penjaga keseimbangan alam, pada kenyataannya di tebang dan di bikin perkebunan kelapa sawit, dan dijadikan tambang-tambang batu bara. Fungsi hutan yang seharusnya memberikan stok oksigen yang banyak dan bisa sebagai daya serap tanah sehingga tidak terjadi banjir, kini sudah dialihfungsikan oleh orang-orang yang hanya mementingkan keuntungan materi saja, tanpa melihat dampak yang terjadi setelahnya.


Sistem ekonomi Kapitalisme senantiasa mengacu pada 'profit oriented', yang mengabaikan AMDAL dan efek yang mengorbankan kepentingan hajat hidup manusia. Disinilah kenapa solusi sistemik ideologis perlu diwujudkan agar banjir dapat diatasi. Tidak ada idelogi yang sahih kecuali ideologi Islam. Oleh karena itu, penerapan ideologi Islam dalam bingkai Khilafah perlu dijadikan tawaran solusi tunggal untuk mengatasi banjir langganan yang senantiasa datang saat musim penghujan tiba di ibukota atau pun wilayah manapun negeri ini.
Ketaatan pada Allah Tuhan Semesta Alam dengan menerapkan syariat Nya adalah jalan turunnya keberkahan dan pertolongan agar negeri ini bisa terbebas dari bencana langganan akibat ulah tangannya sendiri.

Kebijakan Khilafah Mengatasi Banjir
Untuk mengatasi banjir dan genangan, Khilafah Islamiyyah tentu saja memiliki kebijakan canggih dan efisien. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir.   Kebijakan untuk mencegah terjadinya banjir dapat disarikan sebagai berikut;

Pertama, Pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka Khilafah akan menempuh upaya-upaya sebagai berikut;

Membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya.  Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.  Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.  Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan, Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan.  


Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah akan menggariskan beberapa hal penting, misalnya khilafah membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan terkait pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.    Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.


Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana.  Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah swt.


Inilah kebijakan Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir.
Kebijakan tersebut tidak saja didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, tetapi juga disangga oleh nash-nash syariat.  Dengan kebijakan ini, insya Allah, masalah banjir bisa ditangani dengan tuntas.

Permasalahan banjir yang melanda ibukota saat musim penghujan tiba membutuhkan solusi sistemik. Konsep sistem Kapitalisme Liberal yang mementingkan  keuntungan sebesar-besarnya telah menbrak sendi-sendi kehidupan dan merusak lingkungan alam. Hal inilah yang menyebabkan bencana banjir datang tiap tahun. Bencana tersebut tak hanya datang tiba-tiba, melainkan diundang oleh tangan manusia itu sendiri.
Sebagaimana terjemah Quran surat Ar Rum ayat 41:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” [ar-Rûm/30:41]
Oleh karena itu, saatnya negeri ini taat pada syariat Islam secara totalitas supaya terhindar dari bencana yang disebabkan oleh kemunkaran dan kemaksiyatan yang dilakukan oleh manusia. Ketaatan ini hanya bisa terwujud jika negeri ini bertaubat dan kembali menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Inilah wujud taubat nasuha sebuah negara yaitu  kembali taat dengan mencampakkan sistem Kapitalisme liberal yang hanya menguntungkan syahwat para kapitalis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak