Kematian Nakes Tertinggi se Asia, Begini Jaminan Kesehatan di Negara Khilafah






Oleh Nayla Iskandar


Pendemi yang menimpa negeri ini belum usai, bahkan dari hari ke hari sangat memilukan. Hal ini terlihat dari banyaknya kematian yang dialami oleh tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia.
Selain itu Indonesia termasuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia.

Sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi covid-19. Angka ini naik lima kali lipat dari awal pandemi.

Kenaikan angka kematian nakes merupakan salah satu dampak dari akumulasi peningkatan aktivitas dan mobilitas yang terjadi seperti berlibur, Pilkada dan aktivitas berkumpul bersama teman dan keluarga yang tidak serumah. (kompas.com/02/01/2020)

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal akibat covid-19 lebih besar dari jumlah kematian warga di 6 negara Asia Tenggara. Jumlah perawat atau nakes yang meninggal jauh lebih besar dari kematian akibat covid-19 warga Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Brunei, Laos.

Data tersebut menunjukkan penanganan pandemi covid-19 di negeri ini sangat buruk. Bahkan tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan. Padahal standar WHO itu maksimal 5 persen.

Pemerintah tidak pernah bisa mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, treatment. Kapasitas testing di Indonesia belum pernah stabil dan masih di bawah standar WHO. Jika penduduk Indonesia 267 juta jiwa, maka jumlah penduduk minimal yang harus dites sebanyak 38.500 orang. Sampai 9 bulan gagal nembus angka itu secara konsisten. Idealnya minimal 80 ribu orang yang harus dites.

Tracing atau pelacakan yang buruk. Rasio pelacakan kontak positif covid-19 di Indonesia hanya 1 berbanding 3 orang. Padahal, idealnya 1 orang positif covid-19, maja yang dilacak harusnya 30 orang. Pelacakan yang buruk menjadi penyebab angka harian civid-19 sempat mencapai 6 ribu kasus. Karena strateginya tidak maksimal efeknya para pejuang di rumah sakit menjadi korban. (tempo.co/03/12/2020)

Penanganan yang tidak serius dari pihak yang berwenang mengakibatkan kematian para tenaga medis melonjak dratis. Yang lebih mengkhawatirkan, setelah para nakes meninggal, tidak ada pemberian gelar pahlawan, tanda jasa, atau fasilitas pada keluarga yang ditinggalkan layaknya penghargaan yang diterima tentara saat perang.

Apabila negeri ini tidak mampu mengatasi pandemi dengan segera, sementara kematian nakes terus meningkat terutama para dokter, maka pelayanan kesehatan akan terganggu.

Baik sebelum ada pandemi maupun ketika pandemi melanda, Indonesia sudah kekurangan tenaga medis. Hal ini sebabkan karena mahalnya biaya pendidikan kedokteran. Sudah menjadi watak negara yang menerapkan sistem kapitalis, pendidikan dan kesehatan menjadi barang yang dikomersialkan. Sehingga orang-orang yang berduit saja yang mampu mengenyam pendidikan kedokteran.

Ditambah lagi lamanya waktu yang ditempuh untuk kedokteran sampai menjadi spesialis, tentu butuh waktu yang tidak pendek. Di Indonesia butuh waktu 6 tahun untuk menjadi dokter, dan ditambah sekitar 4-5 tahun untuk menjadi spesialis tertentu.

Hal ini berbeda jauh ketika Islam diterapkan secara kaffah. Di dalam Islam nyawa seorang mukmin lebih berharga dari dunia dan seisinya. Sebagaimna sabda Rasulullah "Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak. " (HR Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Pelayanan kesehatan dalam sejarah Khilafah Islam terbagi menjadi tiga aspek, sebagaimana dalam tulisannya Prof. Dr. Fahmi Amhar.

Pertama, Budaya Hidup Sehat. Rasulullah telah banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari. Misal: mejaga kebersihan, makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang, banyak makan buah, mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air, sepertiga udara, kebiasaan puasa senin kamis dan sebagainya.

Membangun infrastruktur pencegah penyakit dan juga fasilitas bagi yang sakit. Menyiapkan nakes yang profesional dan memiliki integritas.

Kedua, Kemajuan Ilmu dan Teknologi Kesehatan.
Kaum muslimin banyak yang melakukan penelitian-penelitian di bidang kedokteran secara orisinal. Bahkan mereka memiliki genre yang khas, melampui genre yang ada saat itu.
Banyak prestasi terjadi pada masa Khilafah yang mendukung riset kedokteran untuk kesehatan umat.

Ketiga, Penyediaan Infrastruktur dan Fasilitas Kesehatan. Hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit. Rumah sakit ini juga digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset. Bahkan rumah-rumah sakit ini menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, sebab seluruh rumah sakit di negara Khilafah bebas biaya.

Fakta di atas tidak pernah terjadi pada saat ini, selama sistem kapitalis mencengkeram negeri ini. Bahkan kematian nakes yang merupakan garda terdepan dalam melawan covid-19, dipandang sebagai hal yang remeh.

Waallahua'alam bhisowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak