Oleh Melly Puspita
Wabah pandemi
COVID-19 di tanah air tak juga kunjung reda. Jumlah pasien terjangkit COVID-19
makin bertambah setiap harinya. Lebih miris, angka kenaikan kasus positif
COVID-19 selaras dengan tingginya jumlah
tenaga kesehatan yang meninggal karena pandemi COVID-19. Padahal jika
kondisinya terus seperti ini, bagaimana mungkin rakyat dapat berjuang dan
bertahan dari serangan COVID-19 sementara garda terdepan semakin tumbang?
Ketua Tim
Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi
mengatakan bahwa kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat
paling tinggi di Asia bahkan masuk ke dalam 5 besar di dunia. Adib pun
menuturkan bahwasannya sejak Maret hingga akhir Desember 2020 sebanyak 504
petugas medis dan kesehatan yang meninggal akibat terinfeksi COVID-19. Lebih
lanjut ia mengungkapkan sepanjang Desember 2020 kematian nakes dokter naik lima
kali lipat dari awal pandemi (nasional.kompas.com, 2/1/2021).
Senada dengan PB
IDI, Inisiator Pandemic Talks, Firdza Radiany mengatakan, jumlah tenaga
kesehatan indonesia yang meninggal akibat COVID-19 lebih besar dari jumlah
kematian warga di 6 negara Asia Tenggara. Menurutnya data tersebut menunjukkan
bahwa penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia belum maksimal atau sangat
buruk. Bahkan, tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15% , jauh dari standar maksimal WHO yaitu 5%
(kompas.com 3/12/2020).
Lebih lanjut
Firdza mengemukakan bahwa kondisi itu terjadi karena pemerintah tidak bisa
maksimal mencapai standar 3T, yaitu
testing, tracing dan treatment. Ia pun menyororoti pelacakan yang buruk di
Indonesia dimana rasio pelacakan kontak positif COVID-19 hanya 1 dibanding 3
orang. Menurutnya pelacakan yang buruk ini mengakibatkan penyebab naiknya angka
harian COVID-19. Dan ironisnya, naiknya angka harian kasus positif COVID-19
justru berbanding lurus dengan tingginya angka kematian tenaga kesehatan
Indonesia.
Padahal
jauh-jauh hari Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman
menyoroti tingginya kasus kematian tenaga medis dokter di Indonesia. Menurutnya
Indonesia mengalami kerugian besar akibat dari tingginya angka kematian tenaga
kesehatan (kompas.com, 31/8/2020).
Dicky menuturkan
berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia merupakan jumlah
terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk.
Itu artinya, Indonesia hanya memiliki 4 dokter yang melayani 10.000
penduduknya. Sehingga, kehilangan 100 dokter sama dengan 250.000 penduduk tidak
memiliki dokter. Namun sungguh mengenaskan! dikala kita berperang marathon
melawan pandemi, malangnya kita justru kehilangan banyak tenaga medis. Ini
merupakan sinyal serius yang menunjukan betapa lemahnya Indonesia dalam program
pengendalian pandemi.
Memang, sudah
menjadi rahasia umum bagaimana penanganan pandemi COVID-19 sejak awal masuk ke
Indonesia. Seperti, Buruknya pelacakan orang yang terpapar, kemudian
diterapkannya “New Normal” disaat ruang publik masih sangat berbahaya. Seperti
yang terlihat, bahwasanya pilkada tetap diselenggarakan demi mempertahankan
kekuasaan meskipun nyawa rakyat menjadi taruhan.
Ya, begini
adanya apabila kita hidup pada aturan yang dibuat oleh manusia. Kondisi negeri
yang begitu terpuruk mengkonfirmasi bahwasannya pemerintah dari awal tidak
serius menangani pandemi hingga pada akhirnya membuat dampak yang jauh lebih
buruk. Hal ini tidak lain akibat dari bercokolnya sistem kapitalis-sekuler.
Dimana segala urusan dipisahkan dari agama dan menjadikan asas manfaat dalam
segala hal, termasuk dalam menangani kesehatan masyarakat.
Sistem
kapitalis-sekuler melahirkan pemimpin yang berjiwa perhitungan dalam mengatur
negara. Kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat dan harus dipenuhi
oleh negara justru dikomersilkan. Bahkan tak jarang keselamatan rakyat menjadi
taruhannya.
Dengan
pertimbangan untung rugi pemerintah enggan memfasilitasi tes masal dengan biaya
terjangkau bahkan gratis. Sehingga masyarakat menjadi tak terfilter antara mana
yang sehat dan yang sakit. Apalagi pada Desember lalu aktivitas masyarakat
meningkat. Tentunya hal ini berakibat makin meluasnya virus COVID-19 yang
menjangkit masyarakat.
Maka tidak heran
ketika data yang ditunjukan menyebutkan bahwa pada bulan Desember angka
kematian Nakes meningkat lima kali lipat sedari awal pandemi akibat dari
peningkatan aktivitas dan mobilitas masyarakat. Seperti, diadakannya Pilkada,
berlibur dan aktivitas berkumpul bersama orang lain (kompas.com, 2/1/2021).
Dengan demikian, tingginya angka kematian nakes menjadi hal yang tidak dapat
dihindari.
Miris! Nyawa
garda terdepan dalam melawan pandemi tak bernilai. Jika saja dari awal
pemerintah sigap dan tegas dalam menanggulangi pandemi COVID-19, tentu
penyebaran virus akan terkendali dan jumlah kematian Nakes pun akan bisa
ditekan.
Namun nampaknya
hal tersebut sulit tercapai jika sistem kapitalis-sekuler masih menggurita
dalam negeri. Sistem buatan manusia yang menafikan peran Sang Pencipta dalam
membuat aturan meniscayakan menimbang aturan sejalan kepentingan diri dan
golongan. Sehingga tidak mungkin tercapai solusi terbaik dan menyeluruh dalam
segala hal, termasuk menangani pandemi COVID-19.
Dalam menangani
pandemi, Islam mengutamakan menyelamatkan nyawa rakyat dibanding dengan
keberlangsungan ekonomi kapitalis yang sarat akan pemodal. Hal ini karena
syariat Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab urusan umat, dimana
keselamatan rakyat menjadi prioritas negara. Seperti halnya sabda Nabi SAW
“Sungguh, hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya
seorang mukmin tanpa hak” (HR. Nasai 398, Tirmidzi 1455).
Dengan demikian
jelas bahwa Islam menuntut negara berperan aktif dan berupaya semaksimal
mungkin mengatasi pandemi. Negara sepatutnya menunjukkan sikap siaga dan sigap
sejak awal pandemi muncul, dan kemudian bersegera melakukan tindakan pencegahan
dan pengobatan untuk setiap warga.
Dari sini
tentulah nyawa rakyat akan bisa diprioritaskan dan nyawa para tenaga kesehatan
pun tidak harus menjadi tumbal. Oleh karenanya peran negara begitu penting
dalam menyelamatkan negeri ini dari kelangkaan jumlah tenaga medis, yang
sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan hajat hidup masyarakat.