Oleh : Durrotul Hikmah
(Aktivis Dakwah Remaja)
Generasi Z atau Gen Z merupakan generasi yang lahir dalam rentang tahun 1995 hingga 2010. Generasi Z datang setelah generasi Y, sehingga sering disebut sebagai generasi generasi Y dengan perkembangan teknologi yang pesat. Nyatanya dimasa pandemi ini proses pembelajaran generasi didik mengalami disrupsi. Bagaimana tidak? Proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi ini membuat siswa hanya terfokus untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sangat banyak, sehingga tak sedikit siswa yang merasa kecewa, dan putus asa. Disaat yang sama muncul lah fenomena anak yang kecanduan gawai diusia 13-18.
Dilansir dari kominfo.go.id ( 23/07/2018).
Fenomena anak-anak yang kecanduan gawai setidaknya semakin terlihat dalam lima tahun terakhir. Meskipun belum ada angka pasti berapa persentase dan jumlah anak yang mengalami gejala kecanduan atau kecanduan gawai, dari sejumlah kasus yang terungkap di publik, hasil kajian, survei, dan penelitian menunjukkan fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini berada pada situasi mengkhawatirkan.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi menyatakan, sejak 2013 lembaganya menangani 17 kasus anak yang kecanduan gawai. Begitu juga Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang sejak 2016 sudah menangani 42 kasus anak yang kecanduan gawai. Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet Penetrasi pengguna internet terbesar di usia 13-18 tahun (75,50 persen).
Arah pendidikan ini semakin tidak jelas, pasalnya sudah berapa kali kurikulum pendidikan bergonta-ganti dari beberapa generasi, seperti pada kurikulum 2004 atau KBK (kurikulum berbasis kompetensi), lalu pada awal tahun 2006 kurikulum diganti lagi dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Standar Pendidikan), selanjutnya mau tidak mau mereka juga mengikuti kurikulum 2013 atau K 13, yang dikatakan bahwa akan lebih menekankan pemikiran kompetensi berdasarkan sikap dan keterampilan. Belum lagi dimasa pandemi ini kurikulum pembelajaran jarak jauh atau PJJ membuat siswa merasa tertekan karena tugas-tugas yang sangat banyak. Merasa lelah bila harus berurusan dengan yang namanya tugas-tugas sekolah, maka jangan heran tak sedikit peserta didik yang melampiaskannya kepada hal-hal lain yang dirasa itu bisa mendapatkan euforia bagi mereka, salah satunya gadget yang nyatanya dimanfaatkan untuk hal yang buruk seperti game online dan fornografi yang akibatnya mengalami kecanduan.
Gelombang sekuler yang diterapkan di negeri ini nyatanya telah menggerus idealisme generasi. Siswa didik dengan pendidikan asas sekuler yang dibentuk bukan dari pemahaman, melainkan dari kekayaan intelektual semata, bukan alat pembentuk perilaku, pada akhirnya lahirnya generasi yang jauh dari kepribadian bertakwa dan berperilaku mulia. Kesuksesan mereka dalam belajar ditentukan oleh nilai-nilai akademis sehingga menekan mereka untuk saling bersaing hingga mengakibatkan siswa merasa capek belajar, dan kehilangan semangat menuntut ilmunya, sungguh itu tak bisa dielakkan. Belum lagi pada masa pandemi yang mengharuskan siswa belajar jarak jauh, sehingga banyak siswa yang merasa frustasi dengan belajar daring dikarenakan pembelajaran yang membosankan dan memaksakan beban materi, maka tidak sedikit generasi melampiaskan kejenuhannya dengan bermain gadget, terlebih lagi fitur gadget yang menggiur sehingga generasi semakin kecanduan.
Dalam Islam, pendidikan sangat krusial. Karena pendidikan adalah wadah akal memformat pemikiran. Tak mungkin negara berasas Islam mengurus pendidikan sebelah mata. Berikut sedikit gambaran sistem pendidikan dalam Islam. Pertama, asas pendidikan adalah aqidah Islam. Ini akan berpengaruh dalam segala hal, baik dari tujuan pendidikan, materi ajar, perangkat pendidikan, target output pendidikan, sistem evaluasi pendidikan, dan sarana prasarana yang disiapkan negara dalam mewujudkan pendidikan. Kedua, tujuan pendidikan adalah membangun peradaban Islam. Targetnya adalah menyelesaikan berbagai problematika umat dengan IPTEK yang diproduksinya. Ketiga, target output pendidikan adalah pembentukan siswa berkepribadian Islam. Memiliki kesadaran tinggi atas dirinya sendiri sebagai hamba maupun makhluk sosial adalah realisasinya. Sehingga, tak ada cerita masyarakat yang menolak jenazah Covid-19 maupun warga yang masih keluyuran saking mispresepsinya terkait wabah. Keempat, sarana dan prasarana penunjang pendidikan sepenuhnya tanggung jawab negara. Ketika negara hadir dalam memenuhi sarana dan prasarana, tak akan ada lagi cerita anak tidak bisa sekolah via daring. Tidak ada perangkat, miskin koneksi internet, keterbatasan informasi bagi pendamping (orang tua) bukan alasan siswa berhenti belajar.
Di sinilah peran aplikasi pelajaran berbasis online menunjang aktivitas belajar yang mau tidak mau harus di rumah. Bimbel online bukan sebatas menjual materi pelajaran. Profit bukan satu-satunya yang dikejar perusahaan aplikasi sebagaimana Kartu Prakerja hari ini. Peran negara adalah membiayai dana yang dibutuhkan perusahaan aplikasi dalam menyiapkan materi pelajaran ini. Bahkan kalau bisa, negara menciptakan sendiri dari output pendidikannya yang berkualitas tinggi, melahirkan berbagai sarana penunjang pendidikan. Ini masih secuplik dari keseluruhan sempurnanya sistem pendidikan dalam Islam. Tentu saja, realisasinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itulah sebabnya, perlu dukungan sistem ekonomi yang berasas Islam pula. Agar sejalan dan sevisi.
Wallahu alam bis shawab.